Jumat 22 May 2020 10:34 WIB

39 Juta Orang di AS Kehilangan Pekerjaan Sejak Pandemi

Pandemi Covid-19 masih merusak bisnis dan menghancurkan lapangan kerja.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat Covid-19
Foto: Tim Infografis Republika.co.id
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Jumlah penduduk Amerika Serikat (AS) yang mengajukan tunjangan pengangguran dalam dua bulan sejak pandemi Covid-19 terjadi makin bertambah. Menurut laporan pemerintah per Kamis (21/5), jumlahnya membengkak menjadi hampir 39 juta. Peningkatan tersebut terjadi ketika negara-negara bagian telah secara bertahap membuka kembali ekonomi mereka dan membiarkan orang-orang kembali bekerja.

Lebih dari 2,4 juta orang mengajukan tunjangan pengangguran pekan lalu dalam gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terakhir dari penutupan bisnis yang telah membuat ekonomi melambat, menurut Departemen Tenaga Kerja. Seperti dilansir di AP, Jumat (22/5), setidaknya 38,6 juta tenaga kerja terdampak menjadi kejatuhan pasar kerja yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Baca Juga

Angka terakhir tidak berarti 38,6 juta orang benar-benar kehilangan pekerjaan. Beberapa telah dipanggil kembali dan yang lainnya sudah mendapatkan pekerjaan baru. Namun, sebagian besar masih menganggur.

Jumlah aplikasi terhadap tunjangan pengangguran pekanan sebenarnya telah melambat selama tujuh pekan berturut-turut. Namun, angka tersebut tetap sangat tinggi, 10 kali lebih tinggi dari biasanya, sebelum krisis melanda.

 

Hal ini menunjukkan, meski semua negara telah membuka aktivitas ekonomi kembali setelah tiga pekan terakhir, lapangan kerja belum pulih seutuhnya. Pandemi Covid-19 masih merusak bisnis dan menghancurkan lapangan kerja.

"Penurunan (tunjangan pengangguran) yang stabil dalam klaim merupakan berita baik. Namun, pasar tenaga kerja masih dalam kondisi yang mengerikan," kata kepala ekonom di PNC Financial, Gus Faucher.

Di seluruh Amerika, beberapa perusahaan mulai mempekerjakan kembali karyawan mereka yang semula diberhentikan seiring pelonggaran pembatasan pergerakan dan perdagangan. Pada Senin (18/5), lebih dari 130 ribu pekerja di tiga produsen mobil utama Amerika bersama Toyota dan Honda telah kembali ke pabrikan untuk pertama kalinya dalam dua bulan.

Meski begitu, pengusaha besar tetap memotong pekerjaan. Uber mengatakan, pekan ini mereka akan melakukan PHK ke lebih dari 3.000 karyawan karena permintaan terhadap jasa Uber telah turun. Penerbit digital Vice, Quartz, dan BuzzFeed, raksasa majalah Conde Nast, dan pemilik majalah the Economist mengumumkan sudah melakukan PHK pekan lalu.

Kepala ekonom di Amherst Pierpoint, Stephen Stanley, mengatakan, PHK terakhir menimbulkan kekhawatiran mendalam karena ini terjadi di tengah pembukaan kembali aktivitas ekonomi Amerika. "Ada kemungkinan besar, PHK tersebut dapat bertahan lebih lama dari jumlah bisnis yang baru ditutup," tuturnya.

Dari total 2,4 juta pelamar tunjangan pengangguran pekan lalu, sebanyak 1,2 juta di antaranya melamar secara terpisah. Mereka adalah wiraswasta, kontraktor, dan pekerja pertunjukan yang memenuhi syarat.

Namun, tidak mudah bagi mereka untuk mendapatkan tunjangan. Alexis Weber yang baru diberhentikan dari pekerjaannya sebagai bartender di sebuah restoran di Atlanta mengaku sulit untuk mendapatkan tunjangan pengangguran. Ia mengajukan pada 1 April dan harus menunggu hingga awal Mei untuk mendapatkan insentif pertamanya.

Sementara itu, Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengatakan, pada akhir pekan pengangguran Amerika dapat mencapai puncaknya pada Mei atau Juni. Ia memperkirakan setidaknya sebesar 20 persen hingga 25 persen, tingkat tertinggi sejak Great Depression pada sembilan dekade lalu.

Pada April, pengangguran mencapai 14,7 persen. Jumlah ini tidak tertandingi sejak 1930-an.

Eropa ikut terdampak

Lebih dari 5 juta orang di seluruh dunia telah dikonfirmasi terinfeksi oleh Covid-19 dan lebih dari 330 ribu kematian tercatat. Sebanyak 94 ribu di antaranya di Amerika dan sekitar 165 ribu di Eropa, menurut penghitungan yang dilakukan Universitas Johns Hopkins dan berdasarkan data pemerintah. Para ahli percaya jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi.

Negara-negara Eropa juga mengalami kehilangan pekerjaan dalam skala besar. Namun, program jaring pengaman pemerintah yang kuat di tempat-tempat seperti Jerman dan Prancis menyubsidi upah jutaan pekerja dan mempertahankannya dalam payroll (daftar gaji).

Sementara itu, keraguan tumbuh atas rencana ambisius oleh pemerintah Eropa untuk menggunakan aplikasi cerdas yang dapat melacak kontak untuk melawan penyebaran virus saat mereka meredakan lockdown. Aplikasi ini dapat membantu pihak berwenang menentukan apakah seseorang telah "berpapasan" dengan orang yang terinfeksi atau tidak.

Menteri Keamanan Inggris James Brokenshire mengatakan kepada BBC, aplikasi yang seharusnya diperkenalkan pada pertengahan Mei tersebut belum siap karena masih ada masalah teknis. Prancis juga menunda peluncuran aplikasi pada pekan lalu karena masalah teknis dan privasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement