Selasa 19 May 2020 23:31 WIB

Kontemplasi Mengenal Diri pada Malam di Penghujung Ramadhan

Islam adalah agama yang mengajarkan pengetahuan tentang sejatinya ruh.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Muhammad Fakhruddin
Kontemplasi Mengenal Diri pada Malam di Penghujung Ramadhan (ilustrasi).
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Kontemplasi Mengenal Diri pada Malam di Penghujung Ramadhan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Keistimewaan 10 hari terakhir Ramadhan seringkali dihayati dengan laku ibadah seperti memperbanyak dzikir atau mengingat Allah SWT dan semakin mesra mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Ibadah di penghujung hari-hari akhir Ramadhan ini hakikatnya adalah kontemplasi tentang diri sendiri, lingkungan, negara, dan dunia untuk mencapai malam kemuliaan yang dijanjikan Allah. Malam lailatul qadar selalu mengajak manusia menembus batas.

Umat Islam berbondong mengisi bulan penuh berkah ini dengan ketulusan beribadah kepada-Nya. Dari ibadah yang tulus, maka akan mencetak manusia-manusia dewasa secara spiritual, manusia yang senantiasa memberi pencerahan dan manfaat untuk kebaikan bangsa di sisi lain kepentingan sendiri.   

Dalam ruang lingkungan, negara, dunia, maupun lingkup keluarga sekalipun, manusia tentu akan berhadapan dengan berbagai sisi perbedaan. Namun sesungguhnya dari segi Ruh, kita semua adalah berasal dari satu Cahaya yang sama yang ditiupkan oleh-Nya. Sebagimana tertulis dalam ayatNya: Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. Shaad, 38 :72).

Perbedaan itu seringkali ditemukan dalam segi agama, budaya, kepercayaan hingga dalam cara pandang. Perbedaan timbul dari masing-masing manusia yang telah memiliki batasan-batasan tertentu tentang hal apapun yang diyakininya.

Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta periode 2006-2014, Profesor Komaruddin Hidayat mengatakan, perjalanan hidup manusia melintasi batasnya itu disebut dengan istilah passing over yang memiliki makna sebagai proses manusia dalam melewati batas-batas yang ada dalam dirinya. Seperti halnya peziarah yang berkelana kemana-mana, kemudian ketika pulang, seseorang akan mendapat pengetahuan, ingatan, serta pengayaan baru yang dapat dimaknai sesuai dengan olahan dan rajutan dari apa yang masuk ke dalam dirinya.

"Proses tersebut sangatlah tidak mudah. Sebab butuh keimanan, kemauan, dan kemampuan untuk menerima dan menggali segala perbedaan maupun apa-apa yang terserap dalam diri," ujarnya dalam gelaran ngaji virtual yang diselenggarakan oleh Abhanuraga Nusantara dalam programnya, Spiritual Science and Empowerment (SEE), Senin (18/5).

Peziarah yang sukses melintasi batasan, lalu kembali pulang ke asalnya dengan ilmu baru, kata dia, niscaya akan bertambah kebijaksanaan dalam dirinya sehingga membawa rahmah bagi orang lain. "Ia akan mampu merayakan keragaman, sekaligus bersyukur atas keimanannya," katanya.

Passing over yang paling dekat dengan artikulasi kehidupan sehari-hari, ia contohkan ada pada individu dalam mendengarkan musik yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Selain itu juga ada pada lidah yang selalu merasakan rasa makanan berbeda melintasi batas rasa yang telah ada pada indera pengecap manusia.

"Passing over level jiwa hewani yakni indrawi, apa yang dilihat dirasakan begitu beragam," ujarnya. Dalam perjalanan hidup manusia, seseorang lahir di dunia sudah dilabeli identitas dari orangtuanya, seperti sukunya, atau pun agamanya.

Sehingga apa pun yang tertanam dalam diri manusia menjadikannya memiliki believe system atau kepercayaan yang dalam perjalanannya digunakan untuk menemukan jati diri yang sejati.

Prof Komaruddin yang juga merupakan guru besar Filsafat mengatakan, banyak orang-orang yang fanatik terhadap sesuatu, kemudian terpenjara oleh determinasi atau tembok-tembok etnis maupun sosilogis, yang pada perjalanannya ia akan merasa nyaman berada di keadaan jiwa yang seperti itu. Namun, ada pula orang yang berani keluar dari determinisme sosiologis maupun ideologis itu dalam melihat indahnya keberagaman. 

"Ada yang pada awalnya bingung akan keberagaman, tapi lama kelamaan dia memperkaya pemahaman keberagaman. Di balik keragaman ibarat cahaya yang memberikan spektrum beragam cahaya, inti cahaya itu kan putih. Inti spektrum mata kita saja yang warna warni," kata Prof Komarudin.

Perjalanan masing-masing jiwalah yang menghantarkan kita menuju pada pemahaman tentang perbedaan itu. Sehingga dalam menjalankan kehidupan manusia senantiasa sadar, ikhlas, dan sabar.

KH. Rachmat Hidayat dalam sarasehan yang sama menambahkan, bahwa sesungguhnya Islam sendiri adalah agama yang sangat universal. Menurutnya Islam adalah agama yang mengajarkan pengetahuan tentang sejatinya ruh.

"Innaddina indallahil Islam. Sesungguhnya agama di sisi Allah itu Islam. Artinya apa, Din di situ adalah pengetahuan. Pengetahuan apa, pengetahuan tentang ruhani yang diartikan agama di situ," ujarnya.

KH Rachmat mengatakan, dalam Islam atau dalam tradisi ruang manapun terdapat sisi-sisi baik dan buruk. Namun, jika manusia kembali kepada ruh dan diri sendiri, maka manusia akan menemukan kebaikan-kebaikan yang memang bersumber dari Sang Maha Baik yaitu Allah SWT.

Jika manusia kembali kepada ruh, maka ruh tidak memiliki identitas, bangsa maupun etnis. Untuk itu, dalam menghayati keuniversalan tersebut, manusia belajar dan berjalan untuk menerima keragaman yang ada tanpa menghakimi.

"Bagaimana kita membentuk diri kita dalam menghayati keuniversalan itu menjadi satu kesatuan sehingga kita bisa nyambung satu dengan yang lain. Ini yang menjadi satu pemikiran bersama untuk menyatukan diri kita dengan yang lainnya sehingga kita memiliki ketenangan dan kedamaian di tengah lingkup luar yang banyak macamnya itu," ujarnya.

Sebab ruh tidak memiliki identitas. Ruh sejatinya adalah kesucian. Kesucian itu adalah Allah itu sendiri. "Man arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu, siapa mengenal dirinya, maka kenal Tuhannya," tutupnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement