Rabu 20 May 2020 04:17 WIB

Dosen ITB Target Buat 600 Ventilator Lokal Hingga Akhir Mei

Proses perakitan ventilator itu sudah dipersiapkan sejak enam pekan lalu.

Rep: rizkyan adiyudha/ Red: Hiru Muhammad
Ventilator Vent-I yang dibuat oleh ITB tidak serumit yang biasanya, namun tetap bisa berfungsi baik dan sudah disetujui sejumlah dokter.
Foto: dokpri via abc.net
Ventilator Vent-I yang dibuat oleh ITB tidak serumit yang biasanya, namun tetap bisa berfungsi baik dan sudah disetujui sejumlah dokter.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen STEI Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Syarif Hidayat mengaku akan menargetkan produksi 600 ventilator atau alat bantu pernafasan produksi dalam negeri. Dia mengatakan, hal tersebut sekaligus dilakukan guna membantu tenaga medis menghadapi pandemi Covid-19.

"Yang saya komitmenkan sampai akhir Mei produksi 600 unit ventilator," kata dalam diskusi virtual bersama The Habibie Center, Selasa (19/5). Hingga saat ini sebanyak 120 unit alat bantu pernafasan tersebut telah diproduksi.

Dia mengatakan, proses perakitan ventilator itu sudah dipersiapkan sejak enam pekan lalu. Komponen ventolator rakitannya mayoritas berbahan baku lokal. Kecuali komponen elektronik yang memang masing harus mengandalkan impor dari luar negeri.

Dia mengungkapkan, komponen utama alat bantu pernafasan  semua sudah buatan dalam negeri. Mulai dari blower, sensor tekanan termasuk sistem venting, PIP control yang bergfungsi sebagai pembunuh virus, pemanas dan pelembab, selang pernafasan hingga masker merupakan buatan sendiri.

"Jadi rasanya kalau dibilang TKDN 75 persen ada lah karena yang diimpor cuma komponen elektronik. Design semua dalam negeri komponen dalam negeri juga," katanya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) Ahyahuddin Sodri mengapresiasi ventilator buatan dalam negeri tersebut. Dia berharap alat bantu pernafasan itu dapat digunakan di Indonesia secara nasional.

Meski demikian, dia mengingatkan yang terpenting dari ventilator atau alat kedokteran lainnya adalah faktor keamanan. Sebabnya, sertifikasi itu merupakan hal yang penting agar standar keamanan yang ditetapkan diikuti. "Sehingga produk yang dihasilkan  nantinya telah memenuhi kriteria aman untuk pasien," katanya.

Sejauh ini penggunaan alat kesehatan produksi lokal di dunia kedokteran hanya 10 persen. Dia melanjutkan 90 persen sisanya didominasi penggunaan produk asing. Sebenarnya alat kesehatan produksi dalam negeri juga dapat bersaing dengan produk lainnya. Namun dibutuhkan perubahan mental dan budaya agar Indonesia mampu berubah menjadi negara produksi alat kesehatan.

"Makanya kita jangan pernah inferior dengan negara lain dan juga jangan bangga pakai produk asing. Di alat kesehatan itu merek yang digunakan bukan lokal, dokter itu akrab dengan produk impor dan itu berdampak pada citra produk lokal," katanya.

Pasar industri alat kesehatan di Indonesia terbilang besar. Dia mengatakan, jika dilihat dari strukturnya maka terdapat setidaknya 3.000 rumah sakit, sekitar 9.000 puskesmas dan terdapat ribuan klinik swasta di nusantara.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement