Senin 18 May 2020 21:31 WIB

Menghitung Skenario Haji 2020

Pemerintah harus membagi jamaahnya menjadi beberapa kluster berdasarkan usia

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: A.Syalaby Ichsan
Kegiatan umroh dan haji tutup total. Ilustrasi
Foto: Amr Nabil/AP
Kegiatan umroh dan haji tutup total. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Penyelenggaraan haji 2020 masih menimbulkan tanda tanya. Meski belakangan pengelola dua masjid suci—Masjidil Haram dan Masjid Nabawi—bersikap melunak untuk membuka terbatas area Tanah Suci, belum ada keputusan resmi dari Pemerintah Saudi untuk menyelenggarakan haji 2020.

Di sisi lain, kasus Covid-19 di Saudi masih menunjukkan gejala peningkatan. Kementerian Kesehatan Arab Saudi merilis pada Jumat (15/5) ada 52.016 kasus positif dengan tingkat kesembuhan 23.666. Menjelang hari raya, Kerajaan Saudi kembali akan melakukan karantina untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19.

Kementerian Agama (Kemenag) yang masih menunggu sikap Saudi pun diminta untuk bersikap lebih cepat. Terlebih, Pemerintah Singapura pada akhir pekan lalu sudah memutuskan untuk menunda pelaksanaan haji pada tahun ini. Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily menyebut sudah ada dua skenario untuk haji tahun 2020. Skenario itu adalah pembatasan kuota dan skenario peniadaan ibadah haji.

photo
Anggota TNI berjaga di gerbang pintu masuk Asrama Haji Bekasi, Jawa Barat, Kamis (14/5/2020). Menurut Kepala Gugus Tugas percepatan penanganan COVID-19 Doni Monardo penggunaan fasilitas asrama haji Pondok Gede Jakarta dan Bekasi untuk lokasi isolasi WNI (Warga Negara Indonesia) dari luar negeri bertujuan agar pengawasan lebih terkontrol - (Antara/Fakhri Hermansyah)

Kementerian Agama (Kemenag) sudah menyatakan, penyelenggaraan ibadah haji tahun ini tidak mungkin dilaksanakan secara normal akibat wabah Covid-19. Kemenag juga disebut akan memastikan keputusan penyelenggaraan ibadah haji tahun ini pada 20 Mei 2020. Keputusan diberikan setelah mendapatkan kepastian dari Pemerintah Arab Saudi. "Setidaknya itu diputuskan sekarang-sekarang ini," ujar Ace Hasan saat dihubungi Republika, Ahad (17/5).

Jika nantinya diambil skenario pemberangkatan dengan pembatasan kuota, ada banyak yang harus dipikirkan agar jamaah haji dari Indonesia tidak tertular Covid-19 selama di Saudi.

Pemerintah diminta mempertimbangkan penetapan kuota haji apakah berdasar umur atau risiko kesehatan, protokol kesehatan selama di Tanah Air dan di Arab Saudi untuk penanganan Covid-19. Pemerintah juga diminta memastikan ketersediaan rumah sakit dan fasilitas kesehatan di Saudi jika ada jamaah haji tertular Covid-19.

"Keempat, kita juga harus menghitung ulang pembiayaan penyelenggaraan haji dengan memperhatikan protokol Covid-19. Misalnya, kapasitas penumpang pesawat apakah dibatasi yang berimplikasi terhadap biaya tiket, kapasitas pemondokan, akomodasi, dan lain-lain," kata dia.

Pengamat haji dari UIN Syarif Hidayatullah, Ade Marfuddin, menyebut, jika nantinya Kerajaan Saudi memilih meneruskan proses penyelenggaraan haji, Indonesia mempunyai dua pilihan, yakni memutuskan tidak memberangkatkan jamaahnya atau mengurangi kuota jamaah.

Jika Pemerintah RI membatalkan keberangkatan, Ade meminta pemerintah segera bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kerja sama ini diperlukan untuk menjelaskan kepada jamaah yang kecewa karena ditunda keberangkatannya secara lebih dekat dan religius.

Pertimbangan kesehatan dan kenyamanan jamaah haji Indonesia harus diperhatikan betul dalam mengambil keputusan. Terlebih, penyebaran virus ini di Indonesia masih terbilang tinggi. "Fatwa dari MUI bisa keluar bahwa tahun ini Indonesia tidak mengirimkan jamaahnya. Dengan mempertimbangkan aspek kesehatan. Isthita'ah itu amanat menjaga keamanan dan kesehatan," kata dia.

Sebaliknya, ketika memutuskan berpartisipasi dalam penyelenggaraan ibadah haji 2020, pemerintah harus membagi jamaahnya menjadi beberapa kluster berdasarkan usia. Pemerintah diminta tegas mengenai berapa usia jamaah yang hendak diberangkatkan.

Pembagian berdasarkan kluster dibutuhkan, mengingat ibadah yang akan dijalankan nantinya akan berbeda dari proses normal biasanya."Karena kondisi rentan, jamaah yang berangkat setidaknya imunnya harus kuat. Ibadah haji itu imun, aamiin, dan aman," ucap Ade.

Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono, menyebut, jika nantinya ibadah haji 2020 tetap terlaksana, diperlukan perhatian ekstra khususnya untuk kesehatan jamaah. Risiko penularan tak hanya saat jamaah di Tanah Suci tetapi ketika kembali ke Tanah Air. "Ini pasti akan menambah risiko penularan ke seluruh dunia," ucap Pandu, kemarin.

Jika Arab Saudi melanjutkan proses penyelenggaraan haji 2020, Pandu menyebut, mereka harus siap untuk melakukan tes polymerase chain reaction (PCR) kepada semua jamaah.

Tes PCR ini dilakukan di negara asal sebelum berangkat dan setelah sampai di Saudi. Pemberlakuan yang sama juga dilakukan untuk proses kepulangan jamaah. "Pertanyaannya, apakah mungkin ini dilakukan? Dengan jutaan orang datang dari berbagai negara, mau dilakukan tes sekaligus?" ujar dia.

Jika dilihat dari kondisi, keamanan, dan kesulitan yang dihadapi untuk menjaga kesehatan seluruh jamaah, Pemerintah Saudi biasanya memilih untuk menunda pelaksanaan haji. Hal ini juga pernah dilakukan beberapa kali sebelumnya, termasuk saat merebak wabah kolera pada 1831.

Dari pihak pemerintah RI, Pandu me nyebut bisa memberangkatkan ja maah nya tetapi dengan kuota di bawah sebenarnya. Untuk opsi ini, ia mewanti-wanti biaya yang harus dibayarkan menjadi lebih mahal. Ada biaya lebih yang harus dibayarkan oleh jamaah untuk pemeriksaan kesehatan dan penyiapan pelayanan kesehatan selama proses haji berlangsung. "Kalau sampai ada jamaah yang sakit saat di sana, itu durasi penyembuhan nya bisa sebulan lebih. Berarti dibutuhkan asuransi kesehatan khusus untuk menangani itu," ucap dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement