Senin 18 May 2020 21:24 WIB

Mustafa Sabri Effendi dan Perjuangannya Melawan Sekulerisme

Mustafa Sabri Effendi dijuluki sebagai syaikhul Islam terakhir Utsmaniyah

Mustafa Sabri Effendi
Foto: tangkapan layar google
Mustafa Sabri Effendi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mustafa Sabri Effendi merupakan seorang ulama yang dijuluki sebagai syaikhul Islam terakhir Dinasti Usmaniyah. Ia lahir di Tokat, Turki, pada 1869.

Hingga akhir hayatnya, ia tak gentar melawan arus sekulerisme. Dalam kaitannya perang pemikiran (ghazwul fikr) dengan kaum sekuler Turki, Mustafa Sabri Effendi memberikan banyak argumen.

Baca Juga

Misalnya, sebagaimana termuat dalam salah satu bukunya, Mas'alat al-Tarjamat al-Quran. Ada anjuran dari pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk untuk mengganti bacaan-bacaan dalam shalat dari bahasa Arab menjadi bahasa Turki Modern.

Dengan dalil-dalil yang meyakinkan, Sabri Effendi membantah imbauan sekuler ini. Ajaran Islam tidak membolehkan umat untuk memodifikasi tuntunan, sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW. Bagi Sabri, penguasa sekuler itu jelas-jelas telah mengintimidasi kaum Muslimin, berikut dengan ajaran Islam.

Seperti diungkapkan Mehmet Kadri Karabela dalam tesisnya untuk McGill University (2003), pada Agustus 1908, Sabri Effendi dan sekitar 112 sarjana Muslim lainnya mendirikan Cemiyet-i Ilmiye-i Islamiye (Perkumpulan untuk Studi Islam). Ia pun terpilih untuk mengetuai organisasi intelektual tersebut. Kesibukannya bertambah dengan mengajar di Medresetu l-Vaizin (Sekolah Ulama).

Memang, keruntuhan Dinasti Usmaniyah memilukan hati alim ini, terutama tentang masa depan ukhuwah. Karabela menjelaskan, bagi Sabri Effendi, berakhirnya daulah tersebut menandakan krisis dalam tubuh umat Islam sedunia.

Dia mengekspresikan kekhawatiran ini dalam setiap paragraf di kata pengantar bukunya, Mawqif al'Aql: Kita telah kalah! Buku itu berisi kritiknya terhadap tren pemikiran Islam dan Eropa sekuler pada awal abad ke-20.

Pada 1938, Mustafa Kemal Ataturk memberikan amnesti kepadanya. Namun, Sabri Effendi menolak hal ini karena memandang Ataturk telah mengubah sama sekali wajah islami Turki.

Demikianlah, mubaligh ini tutup usia jauh dari tanah kelahirannya pada 12 Maret 1954 di Mesir.

Belakangan, ketokohannya mengundang banyak peneliti untuk mengapresiasinya. Fethullah Gulen, misalnya, memandang Mustafa Sabri Effendi sebagai tokoh yang sangat argumentatif dan kritis melihat pelbagai masalah di zamannya.

Dan memang, seperti diakui Karabela, Sabri Effendi sendiri memaklumkan bahwa sebuah kritik hendaknya tertuju pada gagasan, bukan orang pencetus atau penganjur gagasan itu.

Luasnya cakupan keilmuan sang syaikhul Islam terakhir Dinasti Usmaniyah itu menjadikannya tokoh yang tidak terlampau memusingkan opini-opini publik yang tak mendasar, tetapi selalu bertujuan mencerdaskan kehidupan intelektual Muslim.

Utamanya, terkait kritiknya akan kehidupan dan cara pandang sekuler pada abad modern. Hal ini dapat diartikan sebagai peringatannya kepada kaum Muslim agar mewaspadai modernitas yang serbabenda sehingga jangan sampai lupa meneguhkan akidah agama sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement