Senin 18 May 2020 06:51 WIB
Lailatur Qadar

Menekuri Lailatul Qadar Bersama Puisi Emha dan Lagu Ebiet

Merenungi Lailatur Qadar

Ilustrasi Malam Lailatul Qadar
Foto: Foto : MgRol_93
Ilustrasi Malam Lailatul Qadar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Muhammad Najib Azca, Sosiolog UGM

Konon, Lailatul Qadar atawa Malam Kemuliaan atawa Malam Yang Lebih Baik dari Seribu Bulan, jatuh pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

Malam yang teramat istimewa itu, saat-saat dimana Allah Swt menurunkan lembar-lembar wahyu suciNya dan menugaskan para malaikat termasuk malaikat Jibil untuk menebarkan keselamatan dan kesejahteraan bagi semesta, amat dirindukan oleh segenap kaum muslimin. Maka mereka pun menekuri malam-malam pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan itu untuk mencari atau menggapai Lailatul Qadar.

Pun aku. Dalam kesunyian aku ikut menekuri malam-malam panjang penuh kehidmatan itu. Malam ini aku berteman dengan Emha Ainun Nadjib, penyair dan budayawan yang lekat dengan pengembaraan spiritual dan pencarian kesejatian dalam kefanaan. Jangan salah faham; aku malam ini ditemani oleh Emha, atau karib dipanggil Cak Nun, bukan secara fisik—namun secara batin. Aku ditemani oleh sebuah puisinya yang digubah dan dinyanyikan oleh sahabat lamanya, Ebiet G. Ade.

Lagu itu pertama kudengar pada penghujung tahun 1970an atau awal 1980an di kota kelahiranku, Pekalongan, dari sebuah kaset rekaman di sebuah studio kecil di kotaku. Pemilik studio rekaman kecil itu bernama Om Denan sudah berpulang beberapa tahun lalu. Sehingga aku belum berhasil melacak lagi jejak rekaman yang seingatku berisi sekitar 10 lagu, sebagian besar berasal dari puisi-puisi Emha yang dinyanyikan Ebiet. Lagu-lagu itu tidak pernah diproduksi secara komersial hingga kini. Termasuk lagu yang kunyanyikan ini.

Aku lupa judul persisnya, tapi seingatku bertajuk: Dengan Musik Yang Sederhana. Aku pernah menemukan puisi itu di sebuah buku kumpulan puisi Emha. Sayangnya buku itu ketlingsut entah dimana. Aku juga gagal menemukan lirik puisi itu di perpustakaan paman google. Jadi aku sekadar mengandalkan ingatanku dan mencoba menyanyikannya sesuai nada-nada yang terekam di dalam otak sejak masa kecilku. Jadi, Cak Nun, mohon maaf jika ada kekeliruan dan kesalahan dalam mengingatnya.

Begini kira-kira lirik lagunya:

Dengan musik yang sederhana dari gitarmu

Aku merasa ditimang-timang

Oleh sebuah tangan gaib

Yang melemparkanku ke ruang hampa

Entahlah, itu urusanmu

Kata orang musik itu jalan menuju Tuhan

Dan mencari kekasih ialah mengundang kehadiran Tuhan

Kusendiri dalam hal apa

Kumenempuh lorong gelap

Berkali-kali memang ada yang menyapa

Tapi entah siapa

Engkau tidak berlagu untukku

Aku pun tahu

Sambil duduk di kursi kau memandang keluar jendela

Barangkali kepada angin dan bunga-bunga engkau bernyayi

Aku tak mau ditipu lagi segala suara yang hampa

Aku ingin langsung mendengar jawabmu

Di ujung lorong itu

Lagu itu, entah kenapa, terpatri kuat dalam ingatanku. Ikut menemani perjalanan masa remajaku—bahkan hingga kini: ketika warna rambutku mulai bersalin kelabu. Ia menjadi semacam sahabat dalam tualang spiritualku, berteman dengan musik sebagai “jalan menuju Tuhan”.

Terima kasih Cak Nun. Terima kasih untuk puisi-puisi indahmu yang menemaniku bertumbuh. Misalnya puisi ini yang berjudul: Seribu Masjid Satu Jumlahnya. Puisi yang ditulis pada tahun 1987 ini teramat sangat pas dengan suasana Ramadhan di tengah pandemi corona saat ini, ketika kita diseru untuk menjaga jarak dan menjauhi kerumuman, termasuk saat beribadah.

Satu

Masjid itu dua macamnya

Satu ruh, lainnya badan

Satu di atas tanah berdiri

Lainnya bersemayam di hati

Tak boleh hilang salah satunya

Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu

Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu

Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu

Dua

Masjid selalu dua macamnya

Satu terbuat dari bata dan logam

Lainnya tak terperi

Karena sejati

Tiga

Masjid batu bata

Berdiri di mana-mana

Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya

Timbul tenggelam antara ada dan tiada

Mungkin di hati kita

Di dalam jiwa, di pusat sukma

Membisikkan nama Allah ta’ala

Kita diajari mengenali-Nya

Di dalam masjid batu bata

Kita melangkah, kemudian bersujud

Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa

Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna

Tubuh kita bertakbir

Ruh mengagumi-Nya tanpa suara

Ruh bersembahyang tanpa gerak

Menjerit dengan mulut sunyi

Maka malam-malam seperti sekarang kita beriktikaf tidak di masjid batu bata, melainkan di masjid sunyi jiwa; “di jagat tanpa bentuk tanpa warna… Ruh bersembahyang tanpa gerak/Menjerit dengan mulut sunyi.”

Semoga penuh berkah. Semoga tergapai indah Lailatul Qadar.

Amiin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement