Senin 18 May 2020 05:57 WIB

Pakar Nilai RUU Ciptaker Dibutuhkan untuk Kepastian Hukum

Pakar menilai publik tidak perlu mempermasalahkan tentang Omnibus Law

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Bayu Hermawan
RUU Omnibus Law Cipta Kerja bikin cemas pekerja.
Foto: republika
RUU Omnibus Law Cipta Kerja bikin cemas pekerja.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi Universitas Indonesia (UI) Teddy Anggoro menyebut Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Ciptaker) bukan merupakan sebagai suatu cara atau metode pembentukan produk hukum bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Dia mengatakan, penerapan metode Omnibus Law pernah dilakukan dalam pembentukan suatu regulasi.

"Penerapan omnibus law dari dulu sudah ada. Misalnya, UU nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang sifatnya mencabut UU nomor 5/1962 tentang perusahaan daerah, mencabut Pasal 157," kata Teddy Anggoro di Jakarta, Ahad (17/5).

Baca Juga

Teddy  mengungkapkan bahwa Pasal 158 ayat 2 hingga 9 dan Pasal 159 UU No. 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, mencabut pasal 1 angka 4, pasal 314–412, dan pasal 418-421 UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Ada juga UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 yang sekarang tengah ramai itu juga mencabut beberapa regulasi sebelumnya seperti UU No. 28 tahun 2000.

Dia mengatakan, saat ini orang banyak berdebat mengenai Omnibus Law. Menurutnya, tidak ada yang salah dari Omnibus Law karena Omnibus Law itu kan cara atau metode untuk membentuk suatu UU. Dia meminta publik untuk tidak mempermasalahkan tentang Omnibus Law. 

"Kalau orang bicara Omnibus Law itu adanya di common law sistem, tidak dikenal di civil law sistem, sekarang mana ada sistem hukum yang imun dari pembauran atau masuknya sistem hukum lain," katanya.

Dosen Fakultas Hukum UI ini lantas mendukung DPR dan Pemerintah untuk kembali membahas RUU Ciptaker. Dia menganggap, RUU tersebut dapat menjadi solusi untuk perbaikan regulasi perizinan usaha di Indonesia terlebih usai pandemi Covid-19.

Menurutnya, akan ada banyak orang yang membutuhkan kepastian hukum berusaha di Indonesia. Pakar Hukum ini menilai bahwa perbaikan regulasi terutama memperbaiki iklim investasi yang tengah dilakukan Presiden Joko Widodo masih terbentur dengan ego sektoral antarkementerian.

"Saya bilang, saya ini bayar pajak, jujur saja saya sempat sesak karena saya harus membayar 20 juta sekian. Dan saya tidak ikhlas kalau misalnya uang pajak saya tidak dimanfaatkan dengan baik karena saya mulai berpikir bagaimana pasca-covid. Apa yang harus kita lakukan. Terus dengan regulasi yang sekarang ada itu jelas tidak sanggup. Jadi jangan dibiarkan DPR itu dikasih tugas hanya mengawasi dana covid, jangan. Kalau saya pikir dia harus kerja," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement