Ahad 17 May 2020 22:17 WIB

Harta Kekayaan Hanya Titipan, Bukan Segalanya

Rasulullah SAW mencontohkan teladan terbaik tentang memperlakukan harta benda.

Ilustrasi harta kekayaan
Foto: Pixabay
Ilustrasi harta kekayaan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Ali Yafie dalam bukunya, Menggagas Fiqih Sosial mengatakan, ajaran Islam menempatkan harta benda dalam jajaran lima kemaslahatan dasar. Sebab, harta merupakan salah satu kepentingan yang mendasar dalam kehidupan manusia.

Namun, Islam juga menempatkan harta benda sebagai ujian bagi manusia. Ini seperti ditegaskan surah Al-Taghaabun ayat 15, yang artinya, "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) ...."

Baca Juga

Di satu sisi, hak kepemilikan seseorang atas harta benda tetap dihormati dan dilindungi. Akan tetapi, di sisi lain harta benda itu pada hakikatnya merupakan titipan dari Allah SWT. Sebab, Dialah Yang Mahamemiliki. Maka dari itu, seorang insan harus memanfaatkan harta bendanya sebagaimana diperintahkan Allah SWT.

Ketika Nabi Muhammad saw tengah menderita sakit dan menjelang ajalnya, beliau hanya memiliki uang tujuh dinar. Khawatir kalau sampai meninggal dunia uang tersebut masih berada di tangannya, Nabi SAW pun menyuruh menyedekahkan seluruh uang itu kepada fakir miskin. ''Bagaimana nantinya jawab Muhammad kepada Tuhannya, sekiranya ia menghadap Allah sedangkan uang itu masih ada di tangannya,'' kata beliau.

Demikianlah, Rasulullah saw pergi meninggalkan dunia fana ini menghadap Allah SWT tanpa meninggalkan uang sepeser pun. Nabi SAW tidak meninggalkan sesuatu harta benda kepada siapa pun, termasuk kepada keluarganya. Sekalipun demikian, Nabi secara cemerlang telah meninggalkan suri teladan dan contoh kehidupan yang indah.

"Sesungguhnya pada diri Rasululllah itu suri teladan yang baik bagimu" (QS Al-Ahzab: 121).

Ya, beliau hidupnya sangat bersahaja dan tidak terlalu merisaukan harta benda. Aisyah pernah berkata, ''Kiranya tuan makan hanya sekadarnya kenyang saja.'' Menjawab istrinya ini Nabi berkata, ''Wahai Aisyah! Buat apa dunia ini bagiku. Para rekanku, rasul-rasul ulul azmi telah bertahan atas hal-hal yang lebih berat dari yang aku rasakan. Aku malu, kalau sampai aku menghadap Tuhanku akan tak mencapai martabat seperti mereka."

Sebagai pemimpin, beliau ingin memberikan contoh kepada para pemimpin lainnya agar selalu mendahulukan kepentingan rakyat katimbang diri dan keluarganya. Karenanya, Nabi pernah menolak permohonan putri tercintanya, Fatimah, yang menginginkan seorang pembantu di kediamannya yang berasal dari tawanan perang. Nabi menganggap masih ada orang lain yang lebih membutuhkannya.

 

sumber : Hikmah Republika oleh Alwi Shahab
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement