Selasa 12 May 2020 08:27 WIB

BPK: Penundaan Kurang Bayar DBH Bisa Pengaruhi APBD

BPK sudah menyurati Kemenkeu soal kurang bayar DBH sejak 28 April

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna (kedua kiri) menuturkan telah mengirimkan surat resmi kepada Menteri Keuangan untuk menjelaskan mekanisme kurang Dana Bagi Hasil (DBH) pemerintah pusat kepada daerah.
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna (kedua kiri) menuturkan telah mengirimkan surat resmi kepada Menteri Keuangan untuk menjelaskan mekanisme kurang Dana Bagi Hasil (DBH) pemerintah pusat kepada daerah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna menuturkan telah mengirimkan surat resmi kepada Menteri Keuangan untuk menjelaskan mekanisme kurang Dana Bagi Hasil (DBH) pemerintah pusat kepada daerah.

Langkah itu seiring pernyataan Kementerian Keuangan bahwa pencairan kurang bayar DBH tahun 2019 kepada pemerintah daerah mesti menunggu hasil audit pemeriksaan BPK tahun 2019.

"Ini penting untuk disampaikan terkait kurang bayar DBH 2019. Kami sudah berikan surat resmi kepada Menkeu tanggal 28 April 2020 agar jelas substansinya," kata Agung dalam Media Workshop, Senin (11/5).

Berdasarkan salinan surat yang diberikan, surat bernomor 59/S/I/4/2020 itu untuk menanggapi terbitnya Surat Menteri Keuangan Nomor S-305/MK.07/2020 perihal Penetapan dan Penyaluran Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Tahun Anggaran 2019 dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019.

Agung menjelaskan, berdasarkan Angka 20, Pasal I UU Nomor 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa DBH merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Alokasi DBH tahun 2019 sebagaimana ditetapkan dalam Perpres 129 Tahun 2019 tentang Rincian APBN 2019 menjadi dasar penyusunan APBD. "Oleh karena itu, penundaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Kementerian Keuangan) akan menyebabkan missmatch antara pendapatan dan belanja APBD dalam jumlah yang signifikan," kata Agung dalam suratnya.

Selanjutnya, kurang bayar DBH atau utang DBH dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) selama ini, secara tidak langsung merupakan pernyataan pemerintah pusat menggunakan DBH tersebut sebagai sumber pembiayaan spontan untuk pemerintah pusat. Meskipun, kata Agung, kebijakan itu telah dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 11 Ayat 5 UU APBN 2019.

"Sebagaimana diketahui, Covid-19 terjadi tahun 2020 sehingga seharunya hanya akan berdampak bagi pelaksanaan APBN 2020. Oleh karena itu, pelaksanaan alokasi DBH tahun 2019 seharusnya disalurkan menggunakan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) untuk tahun yang sama," ujarnya.

Ia pun kembali menegaskan bahwa penggunaan penyelesaian Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Tahun 2019 sebagai alat ukur untuk membayar DBH tidak relevan dalam konstruksi pelaksanaan APBN.

"Dari penjelasan itu, Kemenkeu sesungguhnya dapat menggunakan realisasi penerimaan LKPP 2019 unaudited sebagai dasar perhitungan alokasi pembayaran DBH dengan tetap memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement