Senin 11 May 2020 22:40 WIB

Rencana Gunakan Himbara Sebagai Penjaga Likuiditas Dikritik

Menggunakan Himbara sebagai penjaga likuiditas dianggap sulit dilaksanakan.

Ilustrasi Keuangan Digital
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi Keuangan Digital

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Langkah Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang berniat menggunakan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menuai kritik. Menurut anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, hal itu dicemaskan mengganggu kinerja bank-bank pelat merah, sekaligus, dikhawatirkan menimbulkan konflik kepentingan.

Dia mengatakan, selama ini rapat-rapat Komisi XI DPR dengan KSSK yang beragendakan penyelamatan perekonomian nasional di masa pandemi COVID-19 selalu difokuskan pada upaya menghindari moral hazard dan konflik kepentingan. 

“Rencana itu belum pernah dibahas ataupun menjadi agenda rapat Komisi XI DPR dan KSSK. Namun, rencana memakai bank-bank Himbara sebagai penjaga likuiditas justru bisa melanggar prinsip moral hazard dan menyebabkan conflict of interest,” ujar Misbakhun melalui keterangannya, Senin (11/5).

Mantan pegawai Kementerian Keuangan itu menambahkan, rencana KSSK menggunakan Himbara sebagai penjaga likuiditas sulit dilaksanakan. Sebab, rencana itu akan membebani Himbara yang sedang menghadapi persoalan dalam restrukturisasi kredit nasabahnya sendiri.

“Bagaimana mungkin bank Himbara mengurus keperluan likuiditas bank lain, bahkan menangani restrukrisasi kredit nasabah bank lain, sementara pada saat yang sama bank-bank pemerintah harus merestrukturisasi kredit nasabahnya sendiri,” kata dia.

Oleh karena itu Misbakhun menganggap rencana KSSK itu bukan solusi. Sebab, rencana itu jika terealisasi justru dicemaskan merugikan bank-bank Himbara.

“Ini seperti tidak punya gagasan baru yang solutif dalam membantu sektor riil untuk bangkit kembali. Janganlah mengorbankan bank Himbara,” ujarnya.

Lebih lanjut Misbakhun mengatakan, program penyelamatan sektor keuangan dan perbankan juga mencakup bantuan untuk sektor riil. Sebab, relaksasi dan restrukturisasi kredit serta pemberian pinjaman baru merupakan bagian dari upaya menggerakkan sektor riil pada masa pandemi COVID-19 sekaligus memulihkan perekonomian nasional.

“Sistem perbankan tidak seharusnya menjadi sakit akibat skema penyelamatan dan pemulihan ekonomi yang tak ideal,” ujar Misbakhun.

Dia menegaskan, sudah ada kesimpulan yang jelas dalam rapat Komisi XI dengan KSSK yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). 

“Bahwa  pemerintah harus membuat prakiraan biaya yang digunakan untuk program pemulihan ekonomi di mana setiap kebijakan, regulasi dan aturan operasional pelaksanaannya harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Komisi XI,” kata dia.

Mengenai hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkomentar bahwa Himbara sebagai bank penyangga likuiditas tidak akan menimbulkan risiko pergerakan saham BUMN. Bahkan, OJK menyebut kebijakan ini merupakan bisnis normal dalam industri jasa keuangan. 

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, kebijakan penunjukan bank Himbaran tidak memiliki risiko apapun. “Tidak ada risiko karena pure Bank jangkar akan menjadi channeling pemerintah tidak akan menganggu dana likuiditas bank itu sendiri,” ujarnya saat media visit melalui video conference dengan Republika di Jakarta, Senin (11/5).

Wimboh menjelaskan, bank jangkar akan menjadi pemasok utama di Pasar Utang Antar Bank (PUAB). Nantinya Bank Jangkar akan mendapat likuiditas dari hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah yang dibeli oleh Bank Indonesia.

“Dapat margin hanya channel-kan dana pemerintah yang suku bunganya murah, sehingga ada kelebihan,” ucapnya. Namun Wimboh masih enggan menyebutkan detail bank BUMN dan bank swasta mana saja yang akan ditunjuk sebagai bank jangkar tersebut. “Bank mana saja belum difinalkan karena masih koordinasi level kementerian,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement