Senin 11 May 2020 00:09 WIB

Jangan Terburu-buru Berdamai dengan Covid-19

Klaim pelambatan laju kasus Covid-19 belum didukung tes masif PCR.

Andri Saubani
Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*

Tambahan kasus baru positif Covid-19 di Indonesia mencapai angka tertingginya pada Adad (10/5), yakni 533 kasus selama 24 jam terakhir. Angka itu menjadi yang tertinggi sejak Indonesia mengumumkan kasus pertamanya pada 2 Maret. Adapun jika melihat kurva Covid-19 dalam sepekan terakhir, tambahan kasus baru bersifat fluktuatif pada rata-rata angka 400-an kasus baru setiap harinya.

Ahli epidemiologi dan juga Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meyakini bahwa Indonesia belum berada pada puncak kurva penyebaran Covid-19. Mereka kompak bahwa Covid-19 masih menyebar dengan angka tambahan kasus baru positif yang tinggi.

Agak berbeda dengan epidemiolog dan IDI, pemerintah lewat gugus tugas sepekan terakhir seperti sedang membangun narasi bahwa penyebaran dan penularan kasus Covid-19 telah berhasil ditekan atau setidaknya dibuat landai kurvanya. Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo pada 4 Mei lalu menyebut adanya penurunan 11 persen laju penambahan kasus baru Covid-19 di Indonesia.

Setelah Doni, Menteri Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy bersyukur prediksi pertambahan drastis jumlah pasien Covid-19 di Indonesia tidak terjadi. Dia menilai, dari hari ke hari, data pasien baru positif Covid-19 semakin lemah dan jumlah pasien yang sembuh semakin banyak.

Entah kebetulan atau memang telah diskenariokan, pernyataan Doni dan yang senada lainnya kemudian disambut oleh rencana-rencana relaksasi aturan pengetatan pergerakan orang mulai dari pelonggaran larangan mudik hingga rencana relaksasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Mudik memang tetap dilarang, tetapi pemerintah lewat keputusan yang dibuat Menteri Perhubungan pada akhir pekan lalu mulai membuka kembali izin operasi moda transportasi dengan syarat dan ketentuan tertentu.

Pemerintah seakan sudah tak sabar roda ekonomi harus segera kembali bergeliat. Belakangan bahkan bocor kajian skenario pemulihan ekonomi pasca-Covid yang dibuat oleh Kemenko Perekonomian. Dalam kajian itu, kegiatan ekonomi akan mulai dibuka secara bertahap dengan menerapkan protokol kesehatan pada Juni.

Pemerintah seperti yakin penyebaran Covid-19 telah berhasil dikendalikan sehingga mereka berani memprediksi bahwa wabah akan memuncak pada Juni atau Juli, lalu setidaknya pada Agustus kehidupan sosial masyarakat di Tanah Air sudah bisa normal kembali. 

Prediksi, skenario, atau keyakinan pemerintah bahwa kurva Covid-19 di Indonesia mulai melandai atau bahkan menuju penurunan bisa dibilang tidak fair jika hanya merujuk pada statistik harian yang diumumkan oleh Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto. Apalagi, dalam pekan setelah Doni menyebut ada penurunan 11 persen laju penambahan kasus baru, kemudian terjadi lonjakan kasus secara signifikan setidaknya dua kali, yakni pada 5 Mei (484 kasus) dan 10 Mei (533 kasus).

Klaim pemerintah menjadi makin tidak fair jika merujuk pada jumlah dan rasio tes PCR kita. Di negara Barat, jumlah kasus mencapai ratusan  ribu orang bahkan 1 juta kasus seperti di Amerika Serikat karena sejalan dengan masifnya jumlah tes PCR yang mereka jalankan. Adapun Indonesia hingga kini masih sulit memenuhi target yang telah ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebesar 10 ribu tes PCR per hari.

Logika sederhana: sedikit tes, sedikit pula kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Padahal, angka pasien dalam pengawasan (PDP) di Indonesia telah mencapai 30 ribuan orang. Berdasarkan data yang dimiliki Kemenkes, jumlah tes tertinggi harian terjadi pada Jumat (8/5) lalu sebanyak 9.630 tes.

Rasio orang yang diuji Covid-19 di Indonesia pun hanya 0,4 per 1.000 orang. Bandingkan dengan Italia dengan 39 per 1.000 orang, AS dengan 24 per 1.000 orang, dan Vietnam dengan 2,7 per 1.000. Bahkan, negara tetangga Malaysia bisa 7 per 1.000

Statistik yang dirilis Our World In Data menyimpulkan tingkat tes Covid-19 di Indonesia sangat tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki demografis relatif sama di sekitar kawasan. Yang paling penting, menurut situs tersebut, Indonesia juga lambat dalam memperluas jangkauan tes.

Doni mengakui kendala tes PCR terdapat pada jumlah sumber daya manusia atau petugas lab yang terbatas, bukan pada ketersediaan alat tes. Menurut Doni, pemerintah sudah mendatangkan lebih dari 420 ribu reagen PCR. Bahkan, pada 3 Mei, sudah tiba lagi 500 ribu viral transport medium (VTM) dan ekstraksi RNA.

Untuk diketahui, reagen adalah zat atau senyawa yang digunakan ke sistem saat pengetesan yang menyebabkan reaksi kimia untuk melihat apakah terjadi reaksi. Komponen lain yang dibutuhkan untuk PCR adalah VTM atau media pembawa virus dan ekstrak RNA atau pemurnian asam nukleat rantai tunggal yang merupakan hasil translasi dari DNA.

Tes PCR Covid-19 memang terbilang jauh lebih kompleks jika dibandingkan dengan rapid test. Namun, kompleksitas tes PCR mestinya tidak bisa dijadikan alibi atas rendahnya tingkat tes kita yang kemudian dijadikan acuan untuk membangun narasi seolah-olah kita sudah berhasil mengendalikan Covid-19.

Jika kemampuan atau kapasitas tes PCR kita masih rendah, apa tujuan narasi pelambatan laju penambahan kasus baru Covid-19 atau kurva Covid-19 yang sudah melandai? Apakah pernyataan Presiden Jokowi, “Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan,” itu artinya kita sudah menyerah berperang melawan Covid-19?

*penulis adalah jurnalis Republika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement