Ahad 10 May 2020 17:55 WIB

Covid-19 dan Kesadaran Hukum Etis

Karena hukum seolah dibuat sebagai alat melanggengkan kepentingan penguasa.

Dian Andriasari, Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi Unisba, Aktivis Perempuan
Foto: Dokumentasi Pribadi
Dian Andriasari, Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi Unisba, Aktivis Perempuan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dian Andriasari*

Sejak awal kemunculan wabah Covid-19 di Wuhan-Cina, dunia seketika gempar. Kita barangkali sepakat bahwa wabah Covid-19 adalah sebuah bencana besar di dunia.

Virus Covid-19 memang membuat penduduk dunia dipaksa berpikir keras, sistem sosial pun seketika berubah. Namun dalam kondisi ini dapat diyakini bahwa manusia adalah mahluk yang paling adaptif.

Sisi lain yang menarik di tengah bencana wabah ini adalah lahirnya beragam wacana yang kemudian berhubungan atau sengaja dihubungkan dengan fenomena ini meruang membuka ruang diskursus baru. Karena siapa yang luput dari dampak wabah ini? Nyaris tidak ada. Artinya semua lapisan masyarakat, setiap entitas dari struktur sosial tanpa memandang preferensi politik, agama sama-sama mengalami dimensi ketakutan yang sama. Lalu bagaimana dengan masyarakat Indonesia?

Tak kalah mencengangkan adalah ketika muncul wacana untuk membebaskan para napi dalam penjara dengan dalil yang tak lengkap dan tak dapat diterima oleh nalar. Apalagi ketika napi koruptor disebut sebagai salah satu napi yang harus dibebaskan.

Jika alasannya adalah untuk menekan anggaran, dapatkan pemerintah dalam hal ini Menkumham merilis simulasi hitungan anggaran yang dihemat dari APBN untuk belanja makan dan minum tahanan? Setidaknya dalil lain yang dapat diterima oleh akal, bukan sekedar akal-akalan.

Sensibilitas Publik dan Kesadaran Hukum Etis

Ada beberapa catatan penting sejak wabah Covid-19 ini menguji semua lapisan masyarakat di Indonesia, saat yang sama ujian bagi para pejabat publik untuk lebih memiliki sensisbilitas. Sangat jelas wacana pembebasan napi koruptor di tengah pandemi ini, menguji nalar sekaligus kesabaran masyarakat bahwa pemberian remisi atau pembebasan bersyarat bagi para napi koruptor di tengah pandemi Covid-19 akan menjadi polemik baru.

Banyak pihak menyesalkan sikap pemerintah yang di duga mencari kesempatan untuk meringankan hukuman para koruptor melalui wacana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Walaupun pada akhirnya Menkumham Yasonna H Laoly telah mengklarifikasi hal tersebut.

Tetap saja pernyataan yang telah diberikan pada khalayak secara etis tak bisa otomatis selesai dengan klarifikasi, apalagi wacana yang menyakitkan itu muncul ditengah ujian kemanusiaan ini. Karena hukum seolah dibuat sebagai alat melanggengkan kepentingan penguasa; demi elektabilitas politik.

Secara teoretis ataupun filosofis, etika dan hukum (dalam pendekatan nonpositivis) adalah dua entitas yang sangat berkaitan, tetapi berbeda dalam penegakannya. Etika adalah ladang tempat hukum ditemukan dan hukum sendiri merupakan pengejawantahan hukum yang telah diberi sanksi dan diformalkan.

Dalam filsafat hukum, kita mengenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan undang-undang. Dalam konsepsi tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas, dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum. Implikasinya, pelanggaran etika secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum (baca: undang-undang).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement