Ahad 10 May 2020 17:27 WIB

Rahasia Zakat Menurut Imam Al Ghazali

Zakat punya makna lebih dari perbaikan ekonomi

Imam Al-Ghazali (ilustrasi).
Foto: encyclopedia.com
Imam Al-Ghazali (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Pertumbuhan kesadaran zakat,infak dan sedekah pada masa pandemi  di kalangan Muslim pun perlu ditingkatkan. Salah satunya menyadarkan jika zakat bukan hanya untuk kebutuhan materi dan perbaikan ekonomi. Namun, zakat punya makna lebih dari itu.

Zakat yang kerap dibaca beriringan dengan kata shalat ini punya untaian rahasia berharga. Rahasia yang diungkapkan Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulu muddin.

Menurut sang imam, zakat bahkan tidak terlepas dalam pengejawantahan tauhid. Pelaksanaan tauhid memiliki persyaratan untuk kesempurnaannya. Orang yang mengaku bertauhid tidak mencintai apa pun dan siapa pun kecuali Sang Tunggal Yang Maha esa. Sesungguhnya cinta tidak menerima penyekutuan.

Tauhid dengan lisan memiliki sedikit pengaruh. Sementara, ting kat kecintaan hanya dapat teruji dengan melepas apa yang dicintai. Berhubung harta adalah sesuatu yang dicintai makhluk, harta pulalah yang menjadi alat kesenangan dunia mereka. Karena harta, mereka menggandrungi dunia ini dan lari dari kematian. Meskipun dalam kematian terdapat pertemuan dengan Kekasih. Karena itu, mereka pun diuji dalam kejujuran pengakuan mereka tentang Sang Kekasih. Mereka juga diminta un tuk melepas harta yang men jadi objek pandangan mereka.

Imam Al Ghazali menjelaskan, transaksi terbesar orang muk min dengan Allah SWT ter lak sana dengan jihad. Mereka me ngorbankan nyawanya demi bertemu Allah Azza Wa Jalla. Harta sesungguhnya merupakan transaksi dengan nilai yang lebih ringan dibandingkan nyawa. "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri mereka dan harta mereka dengan surga bagi mereka," (QS at-Taubah [9]: 111).

Sang imam memisahkan tiga golongan untuk menjelaskan ra ha sia zakat. Golongan pertama, yakni golongan yang bertauhid setulus-tulusnya. Mereka melepaskan semua harta sehingga tak menyisakan dinar dan dirham dalam pundi-pundinya. Abu Bakar RA masuk dalam golongan ini ketika dia menyerahkan semua hartanya kepada Rasulullah SAW demi perjuangan di jalan Allah SWT.

Golongan yang derajatnya lebih rendah adalah mereka yang menahan harta dengan menantikan waktu-waktu yang dibutuhkan. Maksud mereka menyimpan harta adalah membelanjakan sesuai dengan kadar kebutuhan tanpa tujuan untuk bersenang-senang.

Mereka pun menyalurkan harta yang melebihi kadar kebutuhan ke berbagai jalan kebaikan. Mereka tidak membatasi pengorbanan harta pada zakat sema ta. Sejumlah tabiin, bahkan ber pendapat bahwa dalam harta terdapat hak selain zakat. "Dan (orang mukmin) memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat?" (QS al-Baqarah  ayat 177).

Selain itu, mereka  mendasarkan perbuatannya dengan dalil, "Dan (orang-orang yang ber iman) menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka" (QS al- Baqarah [2]: 3). Makna dari ayatayat di atas adalah harta yang didapatkan termasuk hak Muslim terhadap Muslim lainnya. Orang yang diberi kemudahan, ketika mendapati orang yang membu tuh kan, wajib memenuhi kebutuhan orang itu dari harta bukan zakat.

Golongan ketiga adalah orang yang mencukupkan diri dengan menunaikan kewajiban zakat. Mereka tidak mengeluarkan lebih dan tidak juga kurang. Inilah de ra jat terendah dari orang-orang yang mengeluarkan zakat. Ba nyak orang membatasi diri pada tingkat ini karena kekirian mere ka dengan harta, kecondongan me reka kepada dunia dan lemahnya kecintaan mereka kepada akhirat.

Imam Al Ghazali juga menjelaskan, pengertian lain dari zakat adalah penyucian diri dari sifat bakhil. Sifat ini amat buruk ka rena termasuk sifat-sifat yang membinasakan. "Dan barang sia pa terjaga dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang yang berbahagia." (QS at-Taghabun: 16).

Sifat bakhil hanya akan hilang dengan membiasakan pengorbanan harta. Kecintaan sesuatu tidak akan terhapus kecuali mem biasakan jiwa untuk berpi sah kepadanya. Peran zakat di sini adalah sebagai penyuci bagi pelakunya.

Pengertian selanjutnya adalah mensyukuri nikmat. Allah SWT adalah pemilik nikmat pada diri dan harta hamba-Nya. Ibadah dengan badan merupakan syukur atas nikmat badan. Sementara ibadah dengan harta merupakan syukur atas nikmat harta. Betapa rendah orang yang melihat orang fakir yang rezekinya sedang disempitkan sementara dia tidak melaksanakan syukur kepada Allah untuk menjadikannya tidak perlu meminta-minta. Wallahu a'lam.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement