Ahad 10 May 2020 16:54 WIB

Puasa, Corona dan Khalwat 

Demi pengendalian diri, wabah Corona dan Ramadhan ini memberi ruang seluas luasnya.

Abdul Jalil Hermawan,  Jurnalis dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UGJ Cirebon, Jawa Barat.
Foto: dok pri
Abdul Jalil Hermawan, Jurnalis dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UGJ Cirebon, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdul Jalil Hermawan*

Tak terasa, bulan Ramadhan sudah dua pekan terlampui. Serasa baru kemarin kita saksikan penetapan hilal awal Ramadhan oleh pemerintah. Waktu cepat berlalu. 

Dengan segala drama, hari demi hari berlalu. Tetapi terasa ada yang berbeda pada Ramadhan tahun ini. Bangsa ini, bahkan nyaris seluruh dunia, harus berpuasa di tengah pandemi Corona. Wabah yang mengubah tata cara umat menyambut Ramadhan. Bukan hanya berubah cara menyambut Ramadhan tetapi juga berubah cara mengisi Ramadhan kali ini. 

Tak ada pawai sambutan jelang Ramadhan. Masjid tak lagi menggelar ritual shalat tarawih berjamaah. Tadarus bersama pun tak diperkenankan. Tradisi ngaji sorogan yang biasanya riuh saat Ramadhan, kali ini dihentikan. Bahkan, jauh hari sebelum Ramadhan para santri telah dipulangkan. Segala ritual saat Ramadhan kali ini terasa lebih sunyi. Segala parade kesalehan tersebut tergantikan dengan ritual ritual sunyi yang idealnya kontemplatif.  

Editorial Suara Muhammadiyah edisi Mei 2020 menulis, "Dalam masa wabah corona ini, napas-napas ketuhanan kita temukan dalam ruang sunyi kesendirian. Suara-suara wahyu akan kita temukan dalam kekusyukan dialog batin. Selama ini, dalam dunia yang gegap gempita, kadang kita abai untuk mengambil jeda dan berefleksi." 

Refleksi atas segala tingkah nan pongah yang selama ini mewabah. Privatisasi ritual keagamaan ini tentu tidak akan mengurangi nilai di Mata Tuhan kita. Karena semua itu memang sudah seharusnya dilakukan sebagai salah satu ikhtiar agar peradaban tetap terjaga. Bukan sekadar menggugurkan kewajiban perintah pemerintah yang melarang kerumunan. Tetapi, hal ini juga sebagai bagian dari sumbangsih umat kepada negara.

Kondisi ini tentu masuk kategori ujian kehidupan yang mesti dilalui. Karena dengan wabah ini hadir kepanikan. Menggejala kekhawatiran. Ditemukan kelaparan. Bahkan banyak kegiatan ekonomi yang stagnan. Pemutusan hubungan kerja menjadi berita di mana-mana. Akumulasi permasalahan dunia ini tentu tidak boleh disikapi dengan serampangan. Harus terukur.

Ritaul puasa dan seluruh ritual yang menyertainya ini bisa menjadi salah satu ruang sebagai healing. Karena dalam keheniangan ritual ini akan melahirkan "axis mundi" atau hubungan transendetal antara manusia dengan Sang Pencipta. (Jacob Soemarjo : 2005)

Dalam kacamata Amin Abdullah, segala akumulasi cobaan ini harus dihadapi tak boleh dihindari. Dihadapi dengan kesabaran. Momentum puasa ini adalah training paling tepat untuk menguji kesabaran. Karena selain dikelilingi dengan masalah wabah, manusia juga dihadapkan pada masalah pribadinya yakni lapar dan haus. Dalam konteks ini sabar bukan pasrah. 

Tetapi sabar yang ditingkahi dengan ikhtiar ritual ritual keagamaan. Karena, inti Sabar adalah menahan diri dari sikap ingin lepas kendali. Kemampuan menahan diri ini membuat manusia punya kesempatan untuk mengenali diri dan menyadari batas-batas kekuatan dan kelemahannya. Sabar mengantarkan manusia untuk mengakrabi dan mengevaluasi dirinya. Pengendalian diri selama berpuasa merupakan bagian dari ujian hidup.

Salah satu pengendalian diri dalam masa wabah ini adalah dengan taat aturan. Ketika ada aturan yang melarang keluar rumah, maka berdiam dirilah di rumah. Saat ada larangan shalat Tarawih di masjid, maka gelarlah di rumah. Ketika ada larangan untuk mudik, maka berdiam dirilah. Jangan juga pulang kampung. 

Sikap mengendalikan diri ini selalu dihadapkan pada kondisi pilihan. karena manusia dibekali akal dan wahyu untuk menimbang. Tetapi dalam kondisi sekarang akal pribadi harus bisa mengalah dengan akal sosial. Itu juga bagian dari pengendalian ego.

Itulah wujud ejawantah implementasi dimensi vertikal (hablun minallah) yang harus membumi dalam wilayah praksis. Terkait pengendalian diri ini, ada pernyataan Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu,  “Puasa itu bukan hanya menahan diri dari minum dan minum saja, tapi juga menjaga diri dari kedustaan, kebatilan dan hal sia-sia.”  

Khalwat  

Demi pengendalian diri tersebut, wabah Corona dan Ramadhan ini memberi ruang seluas luasnya. Karena dengan pandemi ini orang dilarang pergi. Dengan Ramadhan orang orang diminta mengukur diri. Pengukuran diri salah satunya bisa dilakukan dengan cara khalwat. 

Seperti yang pernah dilakukan Rasulullah di Gua Hira yang tengah bimbang dengan umat. Dalam bahasa kekinian khalwat ini adalah kontempasi sunyi. Melakukan khalwati bukan berarti menarik diri dari realitas sosial. Justru dengannya segala riuh dan sumpek dalam kegiatan praksis kita teratasi. Aksi dan kontemplasi keduanya merupakan relasi yang tidak dapat dipisahkan. 

Inilah yang dalam terminologi Abdul Hadi WM disebut sebagai Aktivisme dan Pasivisme merupakan keterkaitan yang selalu menjejak dalam dinamika kehidupan manusia. (Muhammad Gufron, 2019). Metamorfosis ritual keagamaan nyata dan terasa. Esensi dari khalwat adalah menemukan The Taste of Sprituality-Manisnya spritualitas. (Ahmad Najib Burhani : Sufisme Kota : 2001).  Makna lainnya adalah dengan memarkir sejenak urusan duniawinya menuju penghambaan esensial kepada Tuhannya. 

Dengan demikian secara tidak langsung ritual puasa yang manusia jalani pada hakikatnya telah mengembalikan fitrahnya sebagai manusia. Disitulah manusia akan menemukan jati diri yang sesungguhnya. Jati diri bukanlah produk artifisial yang hanya bisa diperoleh dengan keangkuhan dan kesombongan, melainkan dengan sikap ketulusan dan kasih sayang kepada sesama. 

Suatu sikap kemanusiaan yang adiluhung untuk diimplementasikan dalam suatu komunitas sosial. Terkesan utopis secara narasi, tetapi secara aktualisasinya adalah menemukan jati diri adalah bisa tahu posisi kita sebagai makluk. Hal ini akan terimplementasikan dalam sikap toleransi, kasih sayang, tepa selira, saling membantu dan berbagai sikap baik lainnya. Puncaknya akan bermuara pada pada ukhuwah insaniah. Dalam konsep agama kita, Islam akan menjadi rahmatan lil alamin bagi sesama.  

Sedangkan secara personalnya, menemukan jari diri juga akan melahirkan sikap yang kokoh pendirian walaupun di tengah berbagai idelogi keagamaan, ras dan budaya.  Atau istilah dalam agama Islam kekuatan iman. 

Dengan wabah yang tengah dihadapi ini, berharap tidak akan menyurutkan untuk serius menjalani dan memenuhi Ramadhan kali ini dengan ritual ritual hakiki. Karena hadirnya wabah ini tidak seharusnya menjadikan menghadirkan sikap abai kita akan perintah perintah Naqli. Bisa jadi pandemi bukan sekedar ujian tetapi juga demi penyeimbangan alam, seperti kepercayaan sebagian orang Jawa tentang Betara Kala. Betara Kala dijelaskannya, jika secara harfiah diartikan sebagai Dewa Kala, sebuah simbol yang jika sudah waktunya, siapapun tak akan bisa melawannya. Karena ini cobaan ini datang dari yang Maha Kuasa, maka hanya kepada Yang Maha Kuasa-lah  kita berharap segalanya. 

Walaupun terasa berbeda puasa kali ini, tetapi perbedaan itu hanya terjadi pada sesutau yang artifisial belaka. Karena secara esensial tak ada perubahan dalam proses ibadah dalam mengisi Ramadhan kali ini. Tarawih masih. Tadarus masih. Sedekah kian lapang kesempatannya. Berkhalwat akan terasa kian syahdu karena beban kita yang kian sarat. Semoga Ramadhan kali ini kita bisa maksimal dalam mengisinya dengan segala kebaikan. Wallahu a’lam. 

*Penulis adalah Jurnalis dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UGJ Cirebon, Jawa Barat.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement