Sabtu 09 May 2020 22:45 WIB

Memahami Takdir, Menjauhi Fatalisme

Dalam memahami takdir, kita dianjurkan untuk tawakkal, alih-alih bersikap fatalis

Memahami Takdir, Menjauhi Fatalisme (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Memahami Takdir, Menjauhi Fatalisme (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang insan kadangkala memahami takdir secara keliru sehingga ia justru jatuh dalam pesimisme. Ia memandang hidup tak lebih dari "menjalani suratan nasib." Alhasil, ia menjadi kurang bersemangat atau bahkan bersikap masa bodoh terhadap hidupnya sendiri.

Memikirkan tentang takdir tak mesti direspons dengan sikap fatalisme. Secara kebahasaan, fatalisme berarti "ajaran atau paham bahwa manusia dikuasai oleh nasib."

Baca Juga

Fatalisme erat dengan kebiasaan mudah menyerah. Padahal, dalam ajaran Islam, pemahaman tentang takdir tidak lantas membuat seseorang bersikap fatalistis.

Agama ini amat menekankan pentingnya ikhtiar dan berdoa. Adapun hasil akhirnya, serahkanlah kepada Allah SWT.

Prasangka baik kepada Allah juga menjadi kualitas yang utama dari diri seorang Mukmin. Sebab, Allah SWT Maha Adil. Dia Mahamelihat segala sesuatu, termasuk upaya dan ikhtiar kita selama di dunia.

Alquran menunjukkan, manusia tidak akan mendapatkan sesuatu selain yang telah diusahakannya. Dalam surah an-Najm ayat 39-41, ditegaskan hal demikian.

Firman itu berarti: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.”

Ayat ini dapat menjadi landasan bagi kita agar bersikap proporsional dalam memandang ikhtiar dan takdir. Menerima takdir bukan berarti berpangku tangan menerima keadaan.  Takdir merupakan hukum sebab akibat yang berlaku secara pasti sesuai dengan ketentuan Allah SWT, yang baik maupun yang buruk. Sedangkan ikhtiar merupakan kebebasan atau kemerdekaan manusia dalam memilih serta menentukan perbuatannya.

Alih-alih fatalis, seorang Mukmin dianjurkan untuk memilih jalan tawakkal.

Katakanlah, semua jalan yang baik dan benar telah kita tempuh. Upaya-upaya sudah dirasakan maksimal. Sampai pada titik ini, serahkanlah semua urusan itu kepada Allah Azza wa Jalla.

Mantapkan hati dan pikiran. Ikhlaskan niat kita bahwa Allah Mahamengetahui apa-apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Perintah tawakkal ini ada dalam Alquran.

"Mengapa kami tidak bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri” (QS. Ibrahim: 12).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement