Sabtu 09 May 2020 01:58 WIB

RUU Ciptaker Diharapkan Bisa Kurangi Angka Pengangguran

Pengamat berharap RUU Ciptaker bisa kurangi angka pengangguran.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Bayu Hermawan
Kontroversi omnibus law (Ilustrasi)
Foto: Republika
Kontroversi omnibus law (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Riset Indeks Arif Hadiwinata mengkhawatirkan kondisi perekonomian nasional di waktu mendatang akan memburuk dan menyebabkan meningkatnya tingkat pengangguran, bukan cuma karena pandemi Covid 19. Untuk itu, menurutnya perlu ada kebijakan yang dapat menciptakan lapangan kerja, misalnya dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker).

"Tingginya pengangguran akan menghantui perekonomian nasional ke depan. Pemerintah harus secepatnya mengeluarkan kebijakan yang dapat menampung mereka melalui penciptaan lapangan-lapangan pekerjaan yang banyak," kata Arif di Jakarta, Jumat (8/5).

Baca Juga

Arif menjelaskan, penciptaan lapangan pekerjaan tidak dapat diselesaikan dengan hanya membuat regulasi terkait investasi saja. Namun, regulasi-regulasi lain yang mendukung atau berkaitan dengannya seperti regulasi perizinan, ketenagakerjaan, dan lainnya, juga perlu dituntaskan.

"Itu yang kami sebut sebagai ekosistem ketenagakerjaan di mana semua hal yang mendukung pada pertumbuhan ekonomi nasional harus dibahas dalam satu paket dan tidak dapat dipisahkan," ujarnya.

Ia melanjutkan, Indonesia memiliki banyak regulasi ketenagakerjaan. Namun, regulasi ini terbukti tidak efisien, cenderung tumpang tindih, dan makin menyulitkan karena adanya inkonsistensi dari tiap regulasi.

Oleh karena itu, dia menilai RUU Ciptaker adalah peluang bagi reformasi terhadap berbagai regulasi yang ada. Namun, ia mengingatkan bahwa reformasi regulasi harus bersifat komprehensif dan tidak berpihak pada kepentingan salah satu pihak. 

"Prinsip utamanya kepentingan nasional, atau kepentingan yang lebih luas. Bukan kepentingan satu pihak tertentu," katanya.

Arif menyayangkan adanya opini yang yang menyebutkan bahwa RUU Ciptaker merupakan reformasi regulasi partisan untuk mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Anggapan yang menggeneralisasi ini kemudian menimbulkan resistensi terhadap RUU. 

"Persepsi diametrik antara buruh dan pengusaha misalnya, harus diperjelas. Lebih bijak, kita mengedepankan kepentingan lebih luas dengan cara duduk bersama. Kedua belah pihak dipersilakan melakukan penawaran-penawaran terbuka dalam mekanisme negosiasi yang fair. Sehingga lahir sebuah RUU Cipta Kerja yang dapat diterima oleh mayoritas," jelasnya.

Arif menegaskan, pengusaha dan buruh sudah seharusnya menciptakan simbiosis mutualistis. Mereka sama-sama ingin menghasilkan keuntungan maksimum dalam pertukarannya. 

Sebagai sebuah regulasi ekosistem ketenagakerjaan,dapat disimpulkan bahwa semua klaster dalam RUU ini sama pentingnya untuk dibahas dan diselesaikan dalam satu paket. Menunda atau bahkan meninggalkan salah satu klaster akan menjadikan regulasi ekosistem ketenagakerjaan pincang.

"Dalam riset kami berkesimpulan bahwa seluruh klaster dalam RUU Cipta kerja, termasuk klaster ketenagakerjaan harus tetap dilanjutkan pembahasannya dengan penguatan pada visi kebebasan ketenagakerjaan dan penciptaan iklim mutualistis di antara seluruh stakeholder yang terlibat," ujarnya lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement