Jumat 08 May 2020 16:28 WIB

Validkah Klaim Penurunan Kasus Corona di Tanah Air?

Pemerintah nilai sudah ada penurunan kasus penularan virus corona baru.

Petugas medis mengambil sampel darah pengguna kendaraan bermotor saat tes diagnostik cepat (rapid test) Covid-19. Pemerintah menyebut sudah terjadi penurunan kasus positif Covid-19 di Indonesia.
Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Petugas medis mengambil sampel darah pengguna kendaraan bermotor saat tes diagnostik cepat (rapid test) Covid-19. Pemerintah menyebut sudah terjadi penurunan kasus positif Covid-19 di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Antara

Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyebutkan kasus penularan virus Corona baru atau Covid-19 di Indonesia hingga 7 Mei 2020 terus menunjukkan tren menurun. Ia juga mengatakan, pasien sembuh meningkat.

Baca Juga

"Penanganan Covid-19 di indonesia per 7 mei 2020, ada kecenderungan angka kasus di Indonesia mengalami penurunan, ini keadaan yang bagus untuk kita syukuri " ujar Muhadjir dalam konferensi pers secara virtual dari Kantor Presiden, Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (8/5).

Selain itu, dia menyebut tingkat kesembuhan juga mengalami kenaikan. Berdasarkan peta kasus Covid-19 per 7 Mei dari data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, total ada 12.776 kasus positif, 2.381 orang sembuh, dan 930 orang meninggal dunia. Kemudian, 243.455 Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan 28.505 Pasien Dalam Pengawasan (PDP).

Di Tanah Air, wilayah yang masih menunjukkan tingginya kenaikan kasus Covid-19 atau kategori zona merah adalah Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

"Sedangkan yang di luar Jawa, yang harus diwaspadai di Sulawesi Selatan," ujarnya.

Muhadjir mengatakan, dengan perkembangan tersebut, prediksi berbagai kalangan mengenai kurva Covid-19 di Indonesia akan meningkat secara eksponensial tidak terbukti. "Dan kita bersyukur karena angka kasus kita rata-rata masih rendah. Kesembuhan semakin tinggi yaitu sudah mendekati 300 kasus per hari. Kemudian untuk angka kematian juga landai tidak ada penambahan," ujar Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini.

Pertumbuhan angka kasus positif Covid-19, ujar dia, setiap hari terus melandai. Pertumbuhan tertinggi per hari pun tidak pernah melewati 500 kasus. Berbeda dengan beberapa negara di Asia, atau bahkan Eropa.

Dia mencontohkan Singapura yang pernah mencatatkan penambahan kasus hingga 1.400 kasus positif dalam satu hari. "Kemudian untuk kesembuhan semakin tinggi di Indonesia yaitu sudah mendekati 300 kasus per hari. Kemudian untuk angka kematian juga landai, tidak ada penambahan yang cukup drastis," katanya.

Di ASEAN, kata Muhadjir, Indonesia memang berada pada urutan kedua tertinggi sebagai negara dengan kasus positif terinfeksi corona. Namun, Muhadjir meminta perbandingan dilakukan menyeluruh, dan turut melihat rasio yang membandingkan jumlah kasus positif dengan jumlah penduduk di masing-masing negara.

“Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, tentu saja sebetulnya angka (kasus Covid-19) ini tidak terlalu istimewa karena jumlah penduduk Indonesia adalah 263 juta dibanding dengan Filipina yang 110 juta penduduk, apalagi Singapura yang sekitar enam juta penduduk," ujarnya.

Di Indonesia, berdasarkan peta kasus Covid-19 per 7 Mei dari data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, total ada 12.776 kasus positif, 2.381 orang sembuh, dan 930 orang meninggal dunia.

Kemudian, 243.455 orang dalam pemantauan (ODP) dan 28.505 pasien dalam pengawasan (PDP).

Sementara menurut data 8 Mei, jumlah pasien positif bertambah 336 orang. Totalnya ada 13.112 orang yang positif corona.

Jumlah pasien meninggal bertambah 13 orang menjadi total 943 orang. Sedang pasien sembih bertambah 113 orang menjadi 2.494 orang yang sembuh.

Penambahan kasus positif pada data 8 Mei adalah 336 orang. Jumlahnya lebih sedikit dua orang dibanding data jumlah tambahan pasien positif pada 7 Mei yakni sebanyak 338 kasus. Sementara pada 6 Mei jumlah tambahan kasus baru lebih banyak yakni 367.

Pemerintah memang belum akan melakukan relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menjelaskan, pemerintah belum memutuskan soal itu.

Pemerintah namun melihat praktik pelaksanaan PSBB yang berbeda-beda di lapangan. "Pemerintah mendiskusikan itu, tetapi belum memutuskan tentang relaksasi. Mendiskusikan, mungkin tidak ya kita melakukan relaksasi," ujar Mahfud dalam Rapat Kerja Komite I DPD secara daring, Jumat (8/5).

Ia mengatakan, hal tersebut didiskusikan karena melihat adanya perbedaan pelaksanaan PSBB di beberapa daerah. Menurut Mahfud, ada daerah yang dalam pelaksanaannya begitu ketat sehingga membuat orang amat terbatas pergerakannya, termasuk saat hendak ke pasar, warung, ataupun supermarket. Tapi di daerah lain masih ada orang-orang dengan jumlah banyak yang berkerumun.

"Karena begini, kalau terlalu dikekang orang tidak bisa bergerak. Lalu mau beli ini ndak bisa, mau jual ini ndak bisa, semuanya serba macet itu," kata dia.

Mahfud menerangkan, pemerintah juga melihat adanya negara-negara lain yang telah merelaksasi karantina wilayah yang mereka terapkan. Ia mengambil contoh negara Italia, India, Malaysia, dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Berbeda dengan negara-negara yang sudah memulai relaksasi tersebut, Indonesia masih dalam tahap membahas kemungkinan itu.

"Kita ini belum. Baru membicarakan kemungkinan itu. Mungkin malahan Juli baru akan itu ya. Tapi itu pun belum ya. Jangan dikatakan bahwa Juli pemerintah akan relaksasi. Belum juga," tuturnya.

Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, menyarankan pemerintah semestinya memprioritaskan tes massal sebelum mengungkapkan penurunan jumlah kasus ke publik. "Melihat jumlah penduduk dan juga fakta bahwa mayoritas kasus Covid adalah asymptomatic (tak bergejala) maka testing menjadi faktor kunci," kata Dicky Budiman kepada Republika di Jakarta, Selasa (5/5).

Lebih lanjut, dia mengatakan, tren penurunan suatu kasus pandemi seperti Covid-19 harus diperkuat dengan fakta surveilans ISPA dan Influenza-like Illness (penyakit setara flu) (ILI). Menurutnya, pemerintah saat ini belum mempertimbangkan data dan fakta secara komprehensif.

"Klaim keberhasilan pengendalian pandemi atau epidemi harus didukung kajian data yang valid dan juga relevan," kata Dicky lagi.

Dari target 10 ribu tes PCR, saat ini Indonesia baru mampu pada kisaran 6.000 sampai 7.000 spesimen per hari. Tidak tercapainya target tes PCR harian bukan pada ketersediaan reagen-nya.

Pemerintah telah mendatangkan 420 ribu reagen tes spesimen secara PCR dan 500 ribu VTM (viral transport medium) atau media penyimpanan spesimen.

Dengan jumlah reagen sebanyak itu, Indonesia sebenarnta mampu menjalankan tes PCR Covid-19 sebanyak 10 ribu kali dalam sehari. Syaratnya, sumber daya manusia (SDM) mencukupi. Faktanya SDM di Indonesia belum mencukupi agar bisa dilakukan tes PCR 10 ribu kali sehari.

photo
Ketentuan Bepergian Selama Pandemi Covid-19 - (republika/kurnia fakhrini)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement