Jumat 08 May 2020 13:03 WIB
Buya Hamka

Hamka Soal Kebolehan Wanita Jadi Sultan?

Bolehlan Wanita Jadi Sultan?

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Inilah pandangan Buya Hamka soal kebolehan wanita jadi Sultan atau pemimpin. Ini merujuk pada kisah-kisah yang terjadi pada sejarah Kerajaan di Nusantara -- khusunya Kesulatanan Aceh --  Hamka menuliskan soal ini dalam bukua karyanya pada awal tahun 1960-an: 'Dalam Perbendaharaan Lama'.

Hakma menuliskannya dalam bukunya tersebut dalam chapter: BOLEHKAH WANITA JADI SULTAN? Isinya sebagai berikut:

Satu perbincangan yang mendalam pula, di samping membicarakan Ilmu Tasawuf, di zaman kejayaan Aceh itu ialah tentang sah tidaknya orang perempuan menjadi Sultan.

Timbulnya pembicaraan para Ulama tentang boleh atau tidaknya perempuan menjadi Raja, menjadi bukti penting pula atas bagaimana telah tingginya perbincangan Hukum Fiqhi dan hukum kenegaraan di Aceh, di samping memperkatakan Tasawuf.

Orang menghadapi satu kenyataan! Setelah Iskandarmuda Mahkota Alam yang Agung itu mangkat, Aceh tidak lagi mempunyai Insan sebagai dia yang begitu besar dan berwibawa. Penggantinya dan menantunya Iskandar Istani tidaklah memerintah dengan sepuas hati. Sebab dalam hati kecil masih terasa bahwa dia "Anak Dagang", atau "Bekas orang Tawanan" yang naik takhta atas belas kasihan tuannya. Dia mesti bertindak hati-hati memegang hati Abangnya Panglima Polim dan permaisurinya Shafiyatuddin!

Bila setiap orang datang menghadap menjunjung Duli Sultan datang menyembah dan mencium lutut beginda sambil membahasakan baginda dengan "Daulat Tuanku", namun Panglima Polim bila masuk ke dalam istana bebas dari tradisi itu. Dia boleh mengatakan kepada Sultan "Gaga", artinya engkau sebagai bahasa abang kepada adiknya, bahkan Sulthanlah yang membahasakan dirinya "Odun Tuan" atau "Patik" kepada abangnya yang bukan raja itu.

Demikian pula istrinya sendiri, Shafiyatuddin seorang wanita bangsawan yang penuh nafsu- nafsu kebesaran, karena ingat bahwa dirinya adalah Puteri Gahara (Padmi).

Masih Iskandar Istani lagi hidup sudah berkembanglah bisik desus bagaimana jadinya Aceh kalau Sultan Iskandar Istani mangkat. Siapa yang akan naik takhta. Sejarah tidak menyebutkan bahwa Iskandar Istani meninggalkan putera laki-laki dengan Shafiyatuddin. Atau boleh juga disangka bahwa pertimbangan politik yang lebih mendalam. Oleh karena kian lama hubungan dengan Johor dan Pahang kian renggang, sebab pengaruh Belanda dalam daerah itu mulai masuk, menyebabkan orang besar-besar Aceh berfikir tidaklah layak lagi putera dari Iskandar Istani dijadikan Raja di Aceh, sebab pada hakikatnya putera itu bukan putera Aceh sejati.

Maka kalau anak Iskandar Istani menjadi Raja, berhaklah Pahang menuntut agar Pahang dan Aceh disatukan, di bawah perintah Sulthan keturunan Pahang. Dan Belanda yang telah mulai bercokol di Johor dapat berdiri di belakang layar!

Demi setelah Iskandar Istani mangkat, sudah jelas betapa naik bintang Panglima Polim! Kalau tidaklah dia seorang anak gundik keturunan Naubi (Sudan) terang dialah yang berhak jadi Raja. Tetapi beliau tidak dapat naik takhta sebab wasiat yang jelas daripada beginda ayahanda Iskandarmuda Mahkota Alam, bahwa engkau lebih baik menjadi, orang yang mengangkat Raja, daripada naik takhta kerajaan.

Nama beliau dalam sejarah Aceh dikenal sebagai "Imam Hitam”,(karena warna kulitnya hitam sebagai ibunya), dan setelah wafat kemudian dikenal gelar "pusthumusnya" -"Teungku di Batee Timoh."

Setelah mangkat Iskandar Istani menjadi pembicaraanlah tentang siapa yang akan menjadi Raja. Kalau Panglima Polim ingin mengambil kesempatan, tentulah dengan segera dia dapat jadi Sultan. Tetapi dia hendak mencari jalan lain.

Tak usah jadi Sultan, tetapi dapat menguasai Sultan! Dengan sebab itu namanya terpelihara karena memegang teguh wasiat paduka ayahandanya. Maka dicarinyalah jalan yang sangat sulit yang jarang sekali terjadi di dalam Sejarah Islam! Yaitu mencalonkan adiknya permaisuri Shafiyatuddin menjadi Sultan, menggantikan suaminya.

Dalam pada itu dirapatkannya pula Ulama-ulama, dimintanya hal ini dibicarakan! Sahkah dalam Islam seorang perempuan jadi Raja?

Ulama-ulama mengeluarkan pertimbangan bahwa pada pokoknya tidaklah boleh perempuan dijadikan "Sultan" sebab Sultan itu adalah memegang amar (perintah) sedang di dalam Hadits Nabi telah bertemu sabda yang jelas. "Rugilah suatu kaum apabila yang menjadi pemegang kekuasaannya ialah perempuan."

Di Mesir di zaman Kerajaan Mameluk akan menggantikan Kerajaan Bani Ayub, pernah seorang perempuan naik takhta Kerajaan Mesir, yaitu Tuan Puteri "Syajaratud Duur" (Pohon Permata). Dia hanya 80 hari saja dapat menduduki takhta kerajaan, karena sayang dan bencinya kepada seseorang sangat mempengaruhi cara pemerintahannya, sehingga turunnya dari takhta kerajaan adalah karena dibunuh.

Di Delhi, setelah negeri itu jatuh dari tangan Kerajaan Ghori kepada Kerajaan mameluk, pernah pula seorang perempuan diangkat menjadi Sultan. Yaitu Sultanah Rajiyah, saudara perempuan daripada Sultan Rukmuddin. Sampai dia dapat duduk di atas singgahsana Kerajaan 4 tahun lamanya. Tetapi kejatuhannya dari takhta kerajaan setelah 4 tahun mendudukinya adalah amat memalukan, sebab kedapatan "bermain muda" dengan hamba sahayanya seorang Habsyi.

Dengan kejadian-kejadian seperti itu memperkuat pendirian Ulama bahwa perempuan tidak boleh menjadi Sultan.

Tetapi Panglima Polim adalah seorang ahli siasat yang jarang taranya. Beliau berkata bahwasanya yang demikian tidak akan kejadian dalam Kerajaan Aceh. Sebab adat Aceh telah menentukan bahwa di samping Sultan atau Sultanah sudah ada "Polim"nya menurut adat, yang akan selalu mendampingi Sultan.

Biarpun Sultan itu wanita, dia tidak akan dapat berbuat sekehendak hatinya, sebab Aceh mempunyai Qanun Mahkota Alam dan ada pula "Panglima" yang akan menjaga perjalanan qanun itu. Panglima Polim pun mempelajari agama, khusus yang berkenaan dengan pemerintahan! Dia berkata bahwa dalam Islam bukanlah perintah dari Pribadi seseorang yang penting, melainkan seseorang yang penting yang bersumber daripada Syari' at.

Padahal tiada lain orang yang berhak naik takhta kerajaan melainkan adiknya Shafiyatuddin, puteri dari Iskandarmuda

Mahkota Alam, permaisuri dari Iskandar Istani! Itulah "besi baik diringgiti", terkumpul dalam dirinya dua kebesaran. Adapun yang diminta oleh Panglima Polim hanya satu, yaitu wasiat paduka ayahanda Mahkota Alam diakui oleh orang besar-besar. Yaitu bagi Kerajaan Aceh ada "Polim"nya. Dia berhak memelihara wasiat itu, karena halangannya buat naik takhta hanyalah semata-mata karena dia anak gundik.

Maka untuk menghormati Almarhum dan menjunjung tinggi wasiat beliau, orang besar-besar mesti memasukkan peraturan ini di dalam Qanun Kerajaan Aceh! Sebab dalam pokok ajaran Agama Islam sendiri, tidaklah ada perbedaan di antara anak Gundik atau anak Gahara.

Dalam pada itu dibujuknya pula adiknya, Shafiyatuddin supaya sudi menerima menjadi Sultanah. Diucapkannya janjinya bahwa dia akan membela adiknya itu di dalam menghadapi sekalian kesukaran pemerintahan. Dia tahu senang saja! Segala kebesaran layak bagi Raja-raja besar akan dipakaikan kepada adiknya itu. Serahkan saja kepada beliau, abangnya yang akan menghadapi segala kemusykilan setiap hari. Dan bila duduk di balai penghadapan, Panglima Polim akan duduk di atas singgahsana yang lebih rendah dari singgasana beliau terletak di samping kirinya!

Pintar benar Panglima itu mengatur siasat. Sebab di samping saranan bertubi-tubi, meminta fatwa Ulama, membujuk pula akan adiknya, namun tentara dari Daerah XX Mukim senantiasa bersiap menyerang Kutaraja jika siasatnya ini dibantah orang!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement