Kamis 07 May 2020 16:46 WIB

Ekonom: Darimana Indonesia Cari Uang Lagi?

'Sumur uang' Indonesia diyakini tidak mencukupi kebutuhan.

Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo mempertanyakan darimana lagi Indonesia mencari uang. Foto Dradjad Wibowo (ilustrasi)
Foto: ANTARAFOTO
Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo mempertanyakan darimana lagi Indonesia mencari uang. Foto Dradjad Wibowo (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom INDEF Dradjad Wibowo mengatakan, mencetak uang baru itu memang risikonya sangat tinggi, apalagi jika jumlahnya besar sekali. Namun yang menjadi dilema, darimana lagi Indonesia mau mencari uang?.

"Semua ekonom sangat memahami alasan BI menolak mencetak uang. Rupiah bisa anjlok tidak bernilai. Lembar Rp100 ribu bisa-bisa buat beli tempe saja kurang,” kata Dradjad kepada Republika.co.id, Kamis (7/5).

Namun yang menjadi dilema adalah Indonesia mau cari uang dari mana?. Dikatakannya, sekarang pajak jeblok. Bahkan penerimaan pajak Q1/2020 hanya Rp 246,1 triliun, turun Rp 6,1 triliun  dibanding Q1/2019. "Seingat saya sejak 1997/98 baru kali ini nilai nominal penerimaan pajak turun dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya. Ini berat sekali,” papar Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Sementara di sisi lain, lanjutnya, pasar surat utang negara juga semakin tidak kondusif. Obligasi negara dengan tenor 10 tahun makin tertekan. Bahasa gampangnya, sumur utang semakin kering.

"Pajak jeblok, sumur utang mengering, larilah ke BI. BI harus membeli obligasi dari Kemenkeu. Istilahnya, monetisasi defisit. Ini ongkos ekonominya bisa mahal sekali. Itu pun BI hanya sanggup maksimal Rp 125 triliun,” ungkap Dradjad.

Setelah itu, lanjut dia, dana abadi pemerintah pun diambil. Itu juga tidak cukup. "Ambil lagi dari Badan Layanan Umum (BLU) dan private placement dari BUMN, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), LPS,” kata dia.

Meski sudah mengambil dari mana-mana, menurut Dradjad, bisa jadi ini belum cukup. Dengan kondisi sekarang saja, kata Dradjad, total pembiayaan utang pemerintah dipatok naik 4 kali lipat, dari Rp 352 triliun menjadi Rp 1440 triliun.

"Itu pun dengan basis hitungan “stimulus” covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun, meskipun tambahan belanja negara hanya Rp 73,34 triliun,” ungkapnya.

Jika mengikuti hitungan Kadin, di mana kebutuhan stimulusnya mencapai Rp 1600 triliun, kata Dradjad, jelas 'sumur uangnya' tidak cukup.

"Jadi pertanyaan mendasarnya: Uangnya Dari Mana? BI tidak punya jawaban yang memadai. Kemenkeu juga tidak. Itu sebabnya muncul gagasan mencetak uang,” papar Dradjad.  Jika tidak mau mencetak uang, menurut Dradjad, maka harus mencari sumber selain di atas.

Ketika ditanya apakah masih ada? Dradjad menjawab,"Saya belum mau bicara lebih detil dari ini."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement