Khusyuknya Puasa Ramadhan dalam Kenangan Lansia Gaza 

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Nashih Nashrullah

Kamis 07 May 2020 06:26 WIB

Lansia Gaza merasakan kekhusyukan Ramadhan yang mulai pudar.  Ilustrasi jelang Ramadhan di Gaza Foto: EPA-EFE/MOHAMMED SABER Lansia Gaza merasakan kekhusyukan Ramadhan yang mulai pudar. Ilustrasi jelang Ramadhan di Gaza

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA CITY – Ketika ditanya tentang Ramadhan di masa lalu, Azeezah Nasrallah, dengan salah satu lagu paling terkenal dari almarhum penyanyi Mesir Umm Kultsum yang diputar di latar belakang menjawab, "Biarkan masa lalu kembali." 

“Tidak ada yang lebih indah dari masa lalu, khususnya  Ramadhan yang penuh dengan kebaikan, berkah, dan ketenangan pikiran,” katanya dikutip di Arab News, Kamis (7/5).

Baca Juga

Nasrallah, mengingat detail kehidupan dan masa kecilnya di desanya, Sarafand Al-Amar, sebelum pemindahan keluarganya selama Nakbah pada 1948. Ia adalah seorang gadis berusia delapan tahun saat Nakbah terjadi.

Peringatan tahunan pengusiran bangsa Palestina yang mendorong terbentuknya Israel ke-72 tahun ini bertepatan dengan pertengahan Ramadhan.

“Ramadhan adalah salah satu bulan terindah. Kami menunggunya dengan bahagia, terutama anak-anak. Suasananya berbeda, hidup itu sederhana dan orang-orangnya baik," kata wanita berusia 80 tahun ini.

Dia masih ingat bagaimana orang-orang biasa menyiapkan kendi dari tembikar untuk menyimpan air, beberapa hari sebelum Ramadhan. Mereka juga membuat keju dengan tangan sendiri untuk makanan sahur.

Orang kaya di desa memberi orang miskin tepung, kacang-kacangan dan sayuran. Mereka juga membayar zakat uang di hari pertama Ramadhan, sehingga para penerima manfaat dapat membeli apa yang mereka butuhkan untuk bulan suci.

Nasrallah ingat bagaimana wanita berkumpul untuk menyiapkan meja buka puasa. Orang-orang penuh kasih dan simpatik, ingin membagikan dan menukar makanan di antara mereka.

Ia menyukai hidangan "jrisha", yakni gandum yang dihancurkan dan dimasak dengan daging. Makanan itu sering dimasak dan disiapkan pada Ramadhan, dibuat oleh keluarga kaya dan didistribusikan di antara kerabat dan tetangga.

"Desa Sarafand Al-Ammar tidak besar, tetapi berkah itu luar biasa. Orang-orangnya ramah, disatukan peristiwa-peristiwa bahagia dan sedih, seolah-olah mereka satu keluarga," ujar Nasrallah. 

Kurang dari 2.000 orang tinggal di sana pada masa Nakba. Hanya ada satu masjid kecil yang suara muazinnya hampir tidak menutupi wilayah kota.  

Perempuan ini menyebut, saat Ramadhan mereka biasa mengumpulkan semua anak-anak di desa. Baik laki-laki dan perempuan, berkumpul di dekat masjid menjelang waktu berbuka puasa.  

Segera setelah mendengar panggilan sholat (adzan) maghrib, masyarakat bersorak dan nyanyian nyaring terdengar di jalan-jalan dan di antara lorong-lorong. 

Dengan cara ini, banyak warga akhirnya tahu waktu untuk berbuka puasa. Beberapa diantaranya memiliki radio untuk mengetahui waktu dan mendengar berita. 

“Perjamuan untuk pria dan pertemuan buka puasa di bulan Ramadhan diadakan di diwan keluarga. Mereka duduk untuk berjemur sampai waktu shalat malam dan shalat Tarawih," katanya.  

Setelah itu, mereka menyaksikan ceramah agama. Orang-orang zaman dulu tidak tetap terjaga sampai subuh seperti generasi sekarang tidak. Saat ini, umat Muslim disebut cenderung begadang di malam hari dan tidur sepanjang hari.

Terlepas dari kesakitan dan penderitaan setelah Nakba, hidup tetap berjalan dengan sederhana dan orang-orang masih saling mengenal. Tetapi dengan berlalunya waktu, kondisi dan adat istiadat berubah. Bahkan, kegembiraan kedatangan Ramadhan tidak sama dengan di masa lalu.  

Putra tertua Nasrallah, Ahmed, mendukung pandangan ibunya. Seiring berlalunya tahun, ia menyebut warga Gaza kehilangan banyak adat dan tradisi yang indah. Seolah-olah itu adalah kutukan dari pembangunan dan teknologi. 

"Kami datang untuk menghabiskan pertemuan dengan keluarga. Kumpul-kumpul telah digantikan video game, series, dan film yang ditawarkan TV kabel selama Ramadhan," ujarnya. 

Tidak seperti dulu, kondisi kesehatan telah mengalami kemunduran. Makanan dan minuman tidak lagi sehat, dan kecepatan menjadi ciri zaman. Ramadhan seolah telah kehilangan kesenangannya.  

Pria berusia 58 tahun ini menyebut dirinya masih muda. Impian terbesarnya selama bulan Ramadhan adalah membuat lentera buatan tangan yang diterangi dengan lilin, mengumpulkan semua anak-anak di kamp saat ia menjelajahi jalanan dan gang, sembari bersorak dan tumbuh besar dengan bersukacita selama bulan Ramadhan.  

“Hari ini kita kehilangan berkumpulnya anak-anak dan permainan sederhana selama bulan Ramadhan. Bahkan lentera yang datang berasal dari Tiongkok. Bentuknya menarik, tetapi tidak mencerminkan semangat Ramadhan," ujarnya.

Ia juga menyebut kini banyak dibangun masjid, tetapi nilai-nilai agama dan perilaku telah menurun. Ramadhan telah bergeser dari ritual keagamaan.