Rabu 06 May 2020 04:10 WIB

Alasan Mengapa Kita Wajib Mandi Junub Usai Berhubungan Intim

Islam mewajibkan mandi junub bagi mereka yang habis berhubungan intim.

Islam mewajibkan mandi junub bagi mereka yang habis berhubungan intim. Ilustrasi pernikahan
Foto: Republika/Prayogi
Islam mewajibkan mandi junub bagi mereka yang habis berhubungan intim. Ilustrasi pernikahan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal

Berbagai amalan yang diberlakukan dalam Islam senantiasa mempunyai hikmah dan manfaat. Tak terkecuali kewajiban mandi junub bagi mereka yang berhadas besar. Apa rahasia di balik mandi junub?  

Ibnu Arabi memberikan penjelasan menarik dalam kitab Futuhat al-Makkiyyah-nya tentang rahasia di balik mandi junub. Mengapa orang harus mandi junub seusai melakukan hubungan suami istri? Bagi Ibnu ‘Arabi, mandi junub merupakan salah satu bentuk ungkapan penyesalan terhadap Tuhan setelah yang bersangkutan melupakan Tuhannya karena menikmati orgasme biologis.

Ia harus mandi dan menyucikan dirinya kembali agar peluang untuk mencapai kepuasan spiritual tidak terdistorsi dengan kenikmatan dan kepuasan biologis yang baru saja dilakukan. Itulah sebabnya kita dianjurkan berdoa sebelum melakukan hubungan suami istri. Redaksinya dicontohkan langsung oleh Rasul, “Ya Allah jauhkanlah kami dari pengaruh setan dan jauhkan pula pengaruhnya terhadap rezeki yang engkau anugerahkan kepada kami.” Doa ini sangat populer sebagai doa pengantin baru.

Dalam dunia spiritual, konsep azwaj dikaji lebih mendalam. Menurut Nasafi, sebagaimana dikutip di dalam The Tao of Islam, Tuhan yang Mahamandiri, tempat segala sesuatu tergantung kepada-Nya (Allah as-shamad), dianggap sebagai zat yang wajib wujudnya (wajib al-wujud), sedangkan makhluk-Nya disebut zat yang mungkin wujudnya (mumkin al-wujud) karena keberadaannya sangat tergantung kepada kehendak-Nya dan keutuhan serta kelestariannya sangat tergantung kepada interaksi pasangannya.

Dicontohkan langit dan bumi; langit memberi atau melimpahkan (al-faidl) dan bumi menerima atau menampung (istifadlah). Menurut Jalaluddin Rumi, langit adalah laki-laki (suami) dan bumi adalah perempuan (istri). Hubungan antara keduanya sebagaimana layaknya hubungan antara suami dan istri atau menurut Murata hubungan antara keduanya dapat diterangkan melalui hubungan yin dan yang dalam Taoisme.

Ibn ‘Arabi juga memberikan pernyataan yang hampir sama; langit diumpamakan dengan suami dan bumi sebagai istri sebagaimana layaknya dalam kehidupan rumah tangga. Sebagaimana ia menjelaskan:

“Dan Allah menjadikan bumi bagaikan istri dan langit bagaikan suami. Langit memberikan kepada bumi sebagian dari perintah yang diwahyukan Tuhan, sebagaimana laki-laki memberikan air ke dalam diri perempuan melalui ‘hubungan suami-istri’. Ketika pemberian itu berlangsung, bumi mengeluarkan seluruh tingkatan benda-benda yang disembunyikan Tuhan di dalamnya.

Jika langit menurunkan airnya ke perut bumi maka akan lahirlah anak-anak biologis, seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang. Demikian pula halnya manusia, pemberian air (sperma) kepada perempuan akan menyebabkan tumbuhnya janin dalam rahim dan selanjutnya lahir manusia.

Jika sang suami (langit) akan ‘berhubungan’ dengan sang istri (bumi), terlebih dahulu diawali dengan sebuah prolog berupa mendung, kilat, atau guntur untuk memberikan kesiapan bumi menerima limpahan air sang suami. Ini dapat dianalogikan perintah Rasulullah kepada para suami sebelum melakukan hubungan suami-istri agar didahului dengan cumbu-rayu (mula’abah).”  Secara medis tradisi seperti ini memang sangat positif untuk melahirkan kepuasan lahir batin

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement