Rabu 06 May 2020 07:24 WIB

Ziswaf dan Semangat Kedermawanan dalam Pandemi Covid-19

Ajaran zakat juga yang menyeimbangkan antara ibadah dan kepedulian sosial.

Nana Sudiana, Sekjend FOZ & Direksi IZI
Foto: dok. Pribadi
Nana Sudiana, Sekjend FOZ & Direksi IZI

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nana Sudiana, Sekjend FOZ & Direksi IZI

Pandemi Covid-19 tak terbayangkan sebelumnya. Bahkan yang lebih mengagetkan, ia nyata terjadi dan begitu dekat di sekitar kita. Ini seolah barang ghaib tapi dampaknya nyata dan mengerikan.

Video-video bagaimana anak terpisah dengan keluarganya saat dijemput para medis telah mengguncang kesadaran kita bahwa hal itu benar-benar terjadi. Bukan mimpi dan bukan pula hoaxs.

Ada tulisan menarik yang beredar dari group ke group di aplikasi WhatsApp. Tidak jelas siapa penulisnya, namun isinya patut kita renungkan bersama. Berikut penuturannya: “Antonio Vieira Monteiro, President Dewan Direktur Santander Bank Portugal, meninggal dunia setelah dinyatakan positif terpapar Covid-19, sepulangnya dari Italia. Kabar kematiannya, tidak penting bagi saya, sebab banyak yang lebih kaya dan lebih kuat darinya juga mati. Yang membuat perhatian saya justru tulisan putrinya di salah satu media sosial. Kami keluarga kaya raya berlimpah harta. Tetapi ayahku meninggal dunia seorang diri, sulit bernafas bagai tercekik, sambil mencari sesuatu yang gratis tanpa biaya, yaitu udara segar, sedang hartanya ditinggal di rumah”.

 

Tulisan di atas mewakili perasaan banyak keluarga yang terpapar Covid-19 dan kemudian meninggal dunia. Betapa fakta dramatis ini demikian nyata dan memang terjadi di banyak belahan dunia. Para keluarga dilarang mendekati jenazah orang-orang yang mereka cintai, apalagi sampai melihat wajah terakhir kalinya dan bahkan ikut serta menguburkannya.

Pandemi Covid-19 sampai saat ini (Sabtu, 02/05) secara global menurut situs Worldometer (https://www.worldometers.info/coronavirus) telah menerpa 212 negara. Adapun data kasus yang tercatat sejumlah 3.400.323. Dari data tersebut korban meninggal dunia sejumlah 239.570 orang. Adapun data di Indonesia menurut situs covid-19 (https://covid19.go.id/) sampai hari ini telah terkonfirmasi 10.551 kasus yang tersebar di 34 propinsi.

Dari data tadi, tercatat ada 800 orang yang meninggal dunia. Dari data ini juga terlihat, virus ini telah menyebar secara dominan di kota-kota dan daerah utama di sejumlah provinsi seperti: DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Banten dan Bali.

Awalnya, kita semua tak menyangka betapa dahsyat dampak virus ini. kita saat sebelum pandemi ini terjadi demikan menikmati kehidupan kita. Kita asyik bergembira bersama keluarga dan teman-teman kita.

Dengan penghasilan atau gaji tetap yang kita miliki kita menjalani kehidupan tanpa kekhawatiran. Tak ada keinginan untuk menabung. Juga merasa tak perlu berhemat segala. Untuk apa berhemat-hemat, toh uang masih cukup dan akan dapat lagi.  

Tapi begitu pandemi Covid-19 datang, ambyar semua. Ada kepanikan, juga rasa was-was yang demikian besar. Takut tertular. Takut diberhentikan. Juga takut dagangan atau bisnis hancur berantakan. Padahal selama ini konsep kita, nikmati uang yang ada, kalau perlu habiskan tanpa sisa.

Kita biasa boros, malah kadang seboros-borosnya. Semua dibeli tanpa melihat urgensi dan prioritas kebutuhan. Padahal kita jelas-jelas bukan orang kaya. Juga bukan orang keturunan orang kaya. Kita juga tak punya warisan tanah dan asset lainnya yang bisa dijual untuk menutup kebutuhan hidup.

Banyak dari kita terobsesi piknik, jalan-jalan dan keliling tempat-tempat indah di nusantara maupun dunia. Kita biasa makan-makan di restoran mahal, demi pengalaman dan foto-foto keren yang diinginkan. Juga demi gengsi agar tak disebut kuno dan ketinggalan jaman.

Kita tak pernah, membayangkan akan demikian takut menjalani kehidupan ketika kita tak punya bekal yang cukup. Kita juga ketika sebelum pandemi sering merasa hidup kita baik-baik saja dan akan tetap baik.

Tak pernah kita siapkan kehidupan saat krisis, apalagi situasi penuh penderitaan. Tak terskenariokan sebelumnya kita bisa mengelola dan memberdayakan uang dan aset kita untuk jangka panjang. Tak tergerak juga kita untuk menjadi tambah pintar dengan terus belajar dan mengoleksi buku-buku yang mencerdaskan.

Kita tak merawat akal, budi serta pengetahuan. Yang kita kejar hanyalah syahwat dan kesenangan sementara. Kita juga tak suka ke museum, tempat bersejarah, situs kuno dan wisata religi lainnya. Apalagi perjalanan sosial untuk membantu sesame yang membutuhkan. Fisik kita penuh nafsu, sementara batin kita teryata miskin budi dan kecerdasan akal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement