Selasa 05 May 2020 15:11 WIB

Menjaga Pertumbuhan Ekonomi Nasional tak Minus

Pemerintah meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan tumbuh positif.

Seorang wanita melintasi deretan toko yang tutup di Pasar Baru, Jakarta, Rabu (1/4/2020). Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 akan turun menjadi 2,3 persen dan dalam skenario terburuk bahkan bisa mencapai -0,4 persen akibat dampak dari pandemi COVID-19
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Seorang wanita melintasi deretan toko yang tutup di Pasar Baru, Jakarta, Rabu (1/4/2020). Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 akan turun menjadi 2,3 persen dan dalam skenario terburuk bahkan bisa mencapai -0,4 persen akibat dampak dari pandemi COVID-19

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Adinda Pryanka, Antara

Pertumbuhan ekonomi nasional kuartal I 2020 mentok di level 2,97 persen. Pemerintah namun mengklaim telah memprediksi anjloknya pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) nasional akibat pandemi Covid-19.

Baca Juga

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, angka ini masih berada dalam rentang prediksi yang tertuang pada APBN Perubahan 2020. Yakni 2,3 persen untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun ini.

"Kita harus terus menjaga pertumbuhan di mana terlihat dari segi konsumsi sudah turun ke 2,8 persen, kemudian juga kita melihat bahwa dari segi pembentukan modal atau ekspor impor mengalami penurunan di mana penurunan impor sudah minus 2,19 (persen)," jelas Airlangga usai mengikuti rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Selasa (5/5).

Airlangga menyampaikan, wabah Covid-19 memang tak terhindarkan membuat 'demand shock' yang ikut menyeret turun pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Padahal berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, konsumsi rumah tangga merupakan komponen pendorong utama PDB nasional. BPS mencatat, kontribusi konsumsi rumah tangga dalam pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 58,14 persen.

"Seperti diprediksi memang pertumbuhan akibat Covid-19 dari segi demand terjadi demand shock. Apalagi di kuartal I pemerintah terapkan PSBB untuk memotong penyebaran dari Covid-19," katanya.

Sebagai langkah lanjutan, ujar Airlangga, fokus utama pemerintah adalah memutus mata rantai penularan Covid-19. Dia menilai, yang terpenting dilakukan adalah upaya pencegahan agar bencana kesehatan tidak merembet ke sektor lain, terutama ekonomi dan keuangan secara berkepanjangan. Rampungnya penanganan Covid-19 nanti akan diikuti oleh pemulihan ekonomi nasional secara bertahap.

"Pemerintah sedang menyiapkan exit strategy dari pandemi Covid-19. Agar masalah bencana kesehatan tidak merembet ke sektor lain," jelasnya.  

Pemerintah juga masih berpegang kepada proyeksi yang sempat disampaikan Dana Moneter Internasional (IMF) yang menyebutkan bahwa ada tiga negara dunia yang akan tetap mencatatkan pertumbuhan ekonomi positif, Indonesia salah satunya. Dua negara lainnya adalah India dan China.

"Jadi ini terlihat bahwa dengan penurunan di Kuartal I ini senada dengan apa yang terjadi di 213 negara dunia, dan kita masih dalam posisi positif," ujar Airlangga.

Airlangga menyebut pertumbuhan ekonomi 2,97 persen pada paruh pertama tahun ini masih baik, jika dibandingkan gejolak ekonomi dunia. Mantan Menteri Perindustrian itu menyebut realisasi pertumbuhan pada kuartal I 2020 masih sesuai prediksi pemerintah karena masih dalam laju pertumbuhan atau dalam level positif, tidak merosot ke level ekonomi negatif.

“Pertumbuhan kuartal pertama seperti diperkirakan akibat pandemi Covid-19, kita masih positif di kuartal I 2,97 persen, dan kita proyeksi di APBN-P 2020 itu sektiar 2,3 persen,” ujar dia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama yang hanya 2,97 persen mengalami laju perlambatan terendah selama 19 tahun terakhir. Krisis kesehatan akibat pandemi virus corona baru (Covid-19) yang menghambat aktivitas ekonomi dan dunia usaha menjadi faktor utamanya.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, situasi perlambatan juga terjadi di banyak negara akibat pandemi. "Kalau kita lihat, ini terendah sejak triwulan satu tahun 2001," ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (5/5).

Tapi, Suhariyanto menekankan, situasi tahun ini tidak dapat dibandingkan begitu saja dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebab, situasi yang dihadapi saat ini sangat berbeda. Pandemi Covid-19 yang belum diketahui kapan selesai menyebabkan situasi ekonomi dan sosial dunia diliputo ketidakpastian.

Suhariyanto mengatakan, pemerintah berupaya menangkal dampak negatif dari pandemi Covid-19, terutama ke kesehatan dan ekonomi. "Sudah banyak upaya dilakukan, tapi kita semua tidak bisa prediksi sampai kapan Covid-19 berlalu," tuturnya.

Selama kuartal pertama ini, Suhariyanto menjelaskan, banyak peristiwa terjadi. Di antaranya, ekonomi beberapa mitra dagang utama Indonesia pada kuartal pertama banyak mengalami perlambatan dan bahkan, kontraksi. Hal ini dikarenakan kebijakan lockdown dan pembatasan aktivitas untuk mengendalikan Covid-19. Sebut saja China yang menjadi tujuan utama ekspor Indonesia, mengalami kontrkasi 6,8 persen.

Di sisi lain, Amerika Serikat yang menjadi pasar ekspor terbesar kedua bagi Indonesia pun mengalami tumbuh negatif 0,3 persen, dari sebelumnya 2,7 persen pada kuartal pertama 2019. Situasi ini terutama berdampak pada kinerja ekspor dan impor yang menjadi komponen Produk Domestik Bruto (PDB).

Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama jauh di bawah prediksi pemerintah. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksikan, ekonomi Indonesia mampu tumbuh 4,5 hingga 4,6 persen pada kuartal pertama.

Meski di bawah lima persen, angka itu masih dinilai sebagai gambaran positif mengingat perlambatan lebih dalam diproyeksikan terjadi pada kuartal-kuartal berikutnya.

Sri menjelaskan, data pada Januari dan Februari cukup menunjukkan adanya momentum pemulihan ekonomi setelah mengalami tekanan akibat dampak perang dagang sepanjang 2019. "Konsumsi, investasi dan ekspor masih menunjukkan kegiatan positif, pada Januari, Februari dan minggu pertama Maret," tuturnya dalam konferensi pers APBN Maret 2020 melalui teleconference, Jumat (17/4).

Sri memprediksi, tren perubahan tersebut baru akan terlihat sejak data April. Sebab, kebijakan pembatasan sosial seperti Working From Home (WFH) dan restriksi mobilisasi manusia baru diberlakukan secara ketat pada awal April.

Tim Ahli Policy Brief Bidang Ekonomi di bawah naungan Direktorat Inovasi dan Science Techno Park Universitas Indonesia (DISTP UI) merumuskan sebuah policy brief dengan tajuk “Kebijakan Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19: Selamatkan Nyawa, Minimalisasi Resesi.”

"Rekomendasi yang diberikan adalah agar pemerintah dapat membagi fokus penanganan pandemi Covid-19 dari sisi ekonomi menjadi dua periode utama yaitu periode jangka pendek dan mendesak (emergency response: disaster relief process, lives first) dan periode jangka menengah (minimize recession)," kata Rektor UI Prof Ari Kuncoro dalam keterangan tertulisnya, Selasa (5/5).

Menurut dia pada periode jangka pendek dan mendesak, pemerintah harus fokus pada upaya menekan korban jiwa dari wabah Covid-19. Caranya dengan penekanan pada stimulus sektor kesehatan dan bantuan kesejahteraan bagi rakyat yang terdampak. Ada dua pihak yang perlu mendapat perhatian pemerintah yakni pekerja atau rumah tangga dan perusahaan atau industri.

Pemerintah perlu mempertimbangkan penyediaan kebijakan asuransi sosial untuk kelompok yang paling rentan atau untuk semua masyarakat. Pilihan kebijakan yang bisa dilakukan adalah menggunakan program yang telah dimiliki sebelumnya seperti Bantuan Program Pangan Non-Tunai, atau memberikan transfer uang tanpa syarat.

Dalam hal ini, katanya, bauran kebijakan distribusi bantuan perlu dipertimbangkan untuk mempercepat proses dan kualitas disbursement, termasuk pelibatan e-wallet, pengiriman berbasis komunitas, dan penggabungan NIK antar-database. Selanjutnya Tim Ahli UI juga merekomendasikan bahwa kelompok kelas menengah yang rentan perlu mendapat perhatian khusus setelah kelompok paling rentan karena akan mulai terdampak jika pandemi terjadi semakin panjang.

Ia mengatakan pemerintah juga direkomendasikan untuk memberikan perhatian khusus kepada industri yang memiliki kesulitan untuk membayar kredit/cicilan. Khususnya UMKM dan industri yang terkena dampak paling besar dari tidak berjalannya perekonomian.

Pada sektor perbankan juga akan menghadapi masalah likuiditas dan kredit macet. Bank sentral bisa membeli surat utang pemerintah yang dapat menurunkan suku bunga.

Di samping itu, likuiditas dari lembaga keuangan non-perbankan, terutama asuransi dan dana pensiun perlu juga mendapatkan perhatian. Pemerintah diharapkan dapat mengantisipasi, misalnya tekanan likuiditas dari sisi dana pensiun sebagai akibat dari penarikan JHT para pekerja yang mengalami PHK.

Lebih lanjut katanya rekomendasi berikutnya adalah pemerintah diharapkan dapat memberikan tekanan yang cukup kepada para lembaga donor internasional untuk membuka berbagai keran pembiayaan, baik yang bersifat normal maupun mendesak.

Salah satu hal penting terkait debt sustainability ini adalah pemerintah dapat melakukan negosiasi untuk mendapatkan fleksibilitas, baik dari sisi pencairan pendanaan maupun skema pengembalian. Selain itu, pemerintah juga dapat merelokasi anggaran yang sebelumnya dipersiapkan untuk pembangunan ibu kota negara yang akan memakan biaya yang sangat besar.

Pada kebijakan jangka menengah, Tim Ahli UI merekomendasikan agar fokus pada proses meminimalkan resesi pascapandemi ketika perekonomian mengalami double hit dari dalam dan luar negeri, tidak hanya di sisi fiskal. "Dalam proses pemulihan jangka menengah, fokus kebijakan ada pada pengurangan tekanan dari sisi penawaran. Sejumlah usulan kebijakan jangka menengah di antaranya, memastikan dunia usaha untuk langsung beroperasi, menjaga kesinambungan sektor logistik dan mendorong kemandirian industri alat kesehatan menjadi kunci," jelas Rektor.

Selanjutnya, menjaga kesinambungan sektor pangan, makanan dan minuman. Sektor pangan juga memerlukan perhatian dengan semakin terbatasnya jumlah yang diperdagangkan dalan perdagangan internasional terutama beras. Dengan turunnya permintaan, harga akan cenderung turun di bawah biaya produksi, untuk itu, pemerintah harus mensubsidi biaya input atau melakukan mekanisme harga batas bawah atau masuk ke pasar untuk melakukan pembelian.

Kemudian, pemerintah mampu memastikan terciptanya penguatan industri dalam negeri terutama industri alat kesehatan sebagai antisipasi merebaknya pandemi di masa yang akan datang. Jika kebijakan dari sisi penawaran telah diambil maka fokus kebijakan jangka menengah selanjutnya yang dapat diambil oleh pemerintah adalah upaya-upaya pemulihan agregate demand. Penghapusan pajak seperti PPN dan PPh setelah pandemi akan membantu mendorong permintaan.

Selain itu, pemerintah harus memberi stimulus kepada rumah tangga untuk mengonsumsi barang manufaktur, dan sektor jasa seperti restoran, hotel dan pariwisata serta angkutan dan penerbangan. Fleksibilitas atas batas defisit sangat perlu dipertimbangkan kembali mengingat paket kebijakan memberi beban yang lebih besar kepada anggaran pemerintah. Terakhir, suku bunga dan inflasi rendah merupakan prasyarat pemulihan ekonomi di jangka menengah dan panjang.

Wakil Rektor bidang Riset dan Inovasi Prof Abdul Haris menambahkan bahwa policy brief ini akan diberikan kepada pemerintah dan diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan menjaga keseimbangan antara keselamatan, kesehatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi, tanpa memprioritaskan antara satu dengan lainnya.

photo
Lelang Surat Utang Negara (SUN). - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement