Senin 04 May 2020 22:05 WIB

Sikap Nabi SAW Menghadapi Cemburu Ekstrem Istri-istrinya

Nabi Muhammad SAW memilih diam, tidak sekalipun berkata kasar atau membentak.

Nabi SAW (ilustrasi)
Foto: Mgrol120
Nabi SAW (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Betapa suka cita perasaan Nabi Muhammad SAW. Sebab, beliau kala itu baru saja dianugerahi kelahiran seorang putra dari seorang istrinya, Mariyah al-Qibthiyyah. Beliau menamakan anaknya, yakni Ibrahim.

Akan tetapi, kelahiran Ibrahim ternyata mengundang cemburu dari istri-istri Nabi SAW yang lain, utamanya ‘Aisyah dan Hafshah.

Baca Juga

Di kediamannya, ‘Aisyah mengatakan kepada Nabi SAW, wajah Ibrahim tidak menyerupai beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. Mendengar hal itu, Rasulullah SAW menunjukkan raut wajah tidak suka.

Perasaan cemburu yang berlebihan juga ditunjukkan Hafshah. Putri Umar bin Khattab itu merasa tersaingi oleh Mariyah, yang telah memberikan seorang anak laki-laki untuk suaminya.

Menghadapi kecemburuan yang datang dari 'Aisyah dan Hafhsah, Rasulullah SAW memilih sikap lemah-lembut. Bagaimanapun, beliau adalah pemimpin umat. Tidak punya banyak waktu untuk melayani perangai cemburu yang ekstrem. Demikian pula, beliau tak mau membiarkan dirinya dipermainkan istri.

Akhirnya, selama sebulan penuh Nabi SAW mendiamkan keduanya. Dalam rentang waktu itu, Rasulullah SAW memusatkan perhatian pada upaya-upaya dakwah dan penyebaran Islam di Jazirah Arab.

Abu Bakar dan Umar sebagai para mertua Nabi SAW merasa gelisah sekali. Mereka khawatir, Rasulullah SAW akan menceraikan masing-masing putri mereka. Bukan tak mungkin perangai ‘Aisyah dan Hafshah yang menyulitkan Nabi SAW akan menyebabkan datangnya murka Allah SWT.

Setelah menyadari keadaan ini, 'Aisyah dan Hafshah pun menyesal. Mereka merasa khilaf lantaran telah terdorong rasa cemburu yang berlebihan, sampai-sampai melukai perasaan sang suami. Kini, Rasulullah SAW lebih memilih menghabiskan sebagian waktu dalam sebuah bilik, alih-alih rumah kedua istrinya itu.

Selama beliau tinggal dalam bilik itu, ada pelayan beliau bernama Rabah. Lelaki itu selalu menunggu di ambang pintu, menjaga agar tidak ada orang yang masuk kecuali atas izin beliau SAW.

Seiring waktu, desas-desus bahwa Nabi SAW akan menceraikan istri-istrinya itu mencuat. Rasa cemas pun kian menggelayuti pikiran Abu Bakar dan Umar.

Suatu hari, Umar begitu ingin bertemu dengan Nabi SAW. Sekali lagi, Umar mengulangi permintaannya. Namun, Rabah tetap tidak memberikan jawaban. Demikian seterusnya hingga permintaan diajukan sebanyak tiga kali.

Ketika Umar hendak beranjak pergi, Nabi SAW memberikan isyarat kepada Rabah agar mengizinkan sahabatnya itu masuk. Umar pun gembira.

Setelah mengucapkan salam, ia memasuki bilik kecil itu.

Ketika Umar sudah duduk dan membuang pandang ke sekeliling tempat itu, ia tiba-tiba menangis.

“Apa yang membuatmu menangis, ya Ibnul Khathab?” tanya Rasulullah SAW dengan nada lembut.

Umar mengatakan, dirinya menangis setelah menyaksikan tikar tempat Nabi SAW berbaring begitu kasar, sampai-sampai meninggalkan bekas pada punggung dan dada beliau yang mulia. Selain itu, di dalam bilik sempit tersebut nyaris tak ada apa-apa kecuali segenggam gandum, kacang-kacangan, dan alas kusam.

Setelah itu, Nabi SAW menasihatinya. Segala yang dilihatnya itu adalah perkara duniawi. Urusan dunia adalah sementara. Umar pun kembali tenang.

“Wahai Rasulullah,” kata Umar, “Apakah yang menyebabkan tuan tersinggung adalah karena para istri itu? Kalau mereka itu tuan ceraikan, niscaya Allah mendukung engkau. Demikian juga para malaikat, Jibril dan Mikail, juga saya, Abu Bakar, dan semua orang-orang beriman. Mereka berada di pihakmu.”

Umar terus dan terus berbicara. Nabi SAW mendengarnya.

Lantas, beliau tersenyum. Rasulullah SAW menyatakan kepadanya, tidak akan menceraikan 'Aisyah dan Hafshah. Mendengar itu, Umar merasa gembira.

Ia pun meminta izin kepada Nabi SAW untuk mengumumkan hal ini kepada kaum Muslimin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement