Senin 04 May 2020 18:56 WIB

Mengenal Ibnu Qudamah

Ibnu Qudamah dikenal sebagai ulama hadits.

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Muhammad Hafil
Mengenal Ibnu Qudamah. Foto: iIbnu Qudamah (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Mengenal Ibnu Qudamah. Foto: iIbnu Qudamah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga tahun setelah pasukan Salib menguasai seluruh kota suci ketiga bagi umat Islam, Yerusalem, sekelompok umat Islam pada 548 H hijrah dari Jama’il, Nablus, Palestina, menuju ke timur, tepatnya Kota Damaskus, Suriah. Rombongan itu dipimpin oleh Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, yang dikenal sebagai seorang yang sangat alim dan zahid.

Anggota rombongan yang hijrah dan masih satu keluarga itu menyelamatkan diri dan memegang teguh akidah mereka. Di antara mereka ada seorang bocah laki-laki yang masih berumur 10 tahun. Anak laki-laki yang istimewa itu bernama Abdullah, anak ketua rombongan. Bocah kecil itu kelak menjadi ulama tersohor. Ia dikenal dengan nama Syekh al-Islam, Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah.

Baca Juga

Ibnu Qudamah adalah seorang imam, ahli fikih, dan zuhud. Ia terlahir di Desa Jama’il, Palestina, pada Sya’ban 541 H. Sejak kecil, ia telah mempelajari ilmu-ilmu keislaman dari sang ayah. Di tanah kelahirannya, ayahnya memang dikenal sebagai seorang ahli agama.

Di usianya yang masih belia, Ibnu Qudamah sudah mampu menghafal Alquran, dasar-dasar ilmu, dan beberapa matan Mazhab Hanbali seperti Mukhtasar al-Khirqi. Kemudian,  ia juga menimba ilmu dari sejumlah ulama terkemuka di Kota Damaskus. Ia pernah berguru pada Abul Makarim Abdul Wahid bin Abi Thahir al-Azdi ad-Dimasyqi dan Abul Ma'ali Abdullah bin Abdirrahman ad-Dimasyqi.

 

Menginjak usia 20 tahun, tepatnya 561 H, Ibnu Qudamah ditemani sepupunya bernama Abdul al-Ghani merantau ke Baghdad. Ia berniat untuk menimba ilmu dan menambah pengetahuannya tentang ilmu-ilmu keislaman. Empat tahun lamanya dia bermukim di kota berjuluk  seribu satu malam’’ itu.

Di Baghdad, Ibnu Qudamah berguru kepada banyak ulama terkemuka. Salah seorang gurunya yang sangat terkenal adalah Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Ulama yang terkenal hingga ke seantero dunia itu merupakan guru pertama Ibnu Qudamah di Baghdad.

Ibnu Qudamah memperdalam pengetahuan dan pemahamannya tentang Kitab Mukhtasar al-Khirqi yang sudah dihafalnya semenjak di Damaskus. Sayangnya, ia tak bisa lama menimba ilmu dari Syekh al-Jilani yang saat itu sudah berusia 90 tahun. Baru 50 hari belajar, sang guru wafat.

Sepeninggal Syekh al-Jilani, Ibnu Qudamah pindah mengaji kepada Syekh Hanabilah (guru Mazhab Hanbali) dan ahli fikih asal Irak, Nasihul Islam Ibnul Manni. Kepada kedua orang itulah ia mengaji tentang Mazhab Imam Ahmad, masalah-masalah khilafiyah, ilmu usul fikih, dan Alquran qiraah Abu 'Amr.

Ibnu Qudamah juga berguru kepada Musnidul 'Iraq Hibatullah Abul Hasan ad-Daqqaq, Ibnul Batti, dan Ibnu ad-Dajaji mengenai Alquan qiraah Imam Nafi'. Ia juga pernah menimba ilmu kepada beberapa ulama wanita, seperti Khadijah an-Nahrawaniyah, Nafisah al-Bazzazah, dan Syuhdah al-Katibah.

Ketika berhaji pada 574 H, Ibnu Qudamah sempat menimba ilmu di Makkah. Sekembalinya dari Tanah Suci, ia memutuskan untuk menetap di Damaskus. Ia menetap di sana hingga akhir hayatnya. Ulama besar ini wafat di kediamannya pada 1 Syawal 620 H.

Namun, versi lain menyebutkan Ibnu Qudamah wafat pada 629 H. Oleh pihak keluarganya, jenazah Ibnu Qudamah dibawa ke kaki Gunung Qasiyun di Shalihiya, sebuah lereng di atas Masjid Jami' Al-Hanabilah untuk dimakamkan.

Ketika bermukim di Damaskus, Ibnu Qudamah menjadi  imam penduduk Suriah.  Ia begitu disegani dan dihormati karena ilmu-ilmu agama yang dikuasainya. Salah seorang keponakannya, Ad-Dhiya' al-Maqdisi, menyebut Ibnu Qudamah sebagai penghulu di bidang tafsir, hadis, dan masalah-masalah peliknya.

Dalam bidang fikih (Mazhab Hanbali-- Red) ia adalah orang nomor satu di zamannya. Masalah khilafiyah ia kuasai. Dalam ilmu faraid, ia jagonya. Sementara dalam bidang usul fikih, nahwu, hisab, dan ilmu kosmografi, Ibnu Qudamah bisa dikatakan merupakan imamnya.

Tak heran jika al-Manni, gurunya, memuji kehebatan ilmu Ibnu Qudamah dengan sebuah kalimat, Bila kau pergi dari Baghdad, tak ada yang bisa menggantikanmu.” Karena pengetahuannya yang luas itu, tak mengherankan jika majelis yang diselenggarakannya selalu sesak oleh kalangan fuqaha (ahli fikih), muhadditsin (ahli hadits), dan pencinta ilmu.

Setiap hari, Ibnu Qudamah mengajar dari pagi hingga siang hari. Setelah waktu zhuhur, pengajian ini diteruskan hingga senja. Para santri yang mengikuti pengajian Ibnu Qudamah tidak pernah merasa bosan. Sebagai seorang pendidik, ia dikenal telaten mendidik murid-muridnya itu. Ia juga kerap menyelingi pengajiannya dengan cerita dan humor.

 

Kesan pertama yang didapat oleh orang yang melihat Ibnu Qudamah adalah decak kekaguman. Dalam buku Guruku di Pesantren dipaparkan bahwa postur tubuh Ibnu Qudamah sulit dicari tandingannya. Berperawakan sempurna, kulit putih, wajah ganteng bersinar, seakan cahaya menyorot dari wajahnya, kening lebar, janggut panjang, hidung mancung, kedua alis menyatu, kepala kecil, ramping, tangan dan telapak kakinya lembut,” begitu Ad-Dhiya' mengungkap ciri-ciri lahiriah Ibnu Qudamah dalam biografinya yang ia karang sebanyak dua juz.

Bukan cuma penampilan lahir yang patut diacungi jempol. Kepribadian Ibnu Qudamah juga pantas dibanggakan. Dia berotak jenius, berhati bersih, wara', penyabar, pendiam, pemalu, lemah lembut, tidak senang dunia, rendah hati, dermawan, mencintai anak kecil dan orang miskin. Karena akhlaknya yang mulia ini, sejarawan Yusuf Sibth al-Jauzi dalam Mir'ah as-Zaman berkata, Siapa yang melihat Ibnu Qudamah bagaikan melihat seorang sahabat Nabi.’’

Senyum selalu tersungging di bibirnya, bahkan ketika ia berdebat sekalipun. Setiap Jumat, Ibnu Qudamah membuka acara perdebatan mengenai bermacam-macam permasalahan umat kala itu bertempat di Masjid Amawi, Damaskus. Ia tidak berdiskusi kecuali dengan senyum tersimpul di bibirnya. Bahkan, ketika ia mengalahkan lawan bicaranya pun dengan senyuman itu.

Ibnu Qudamah juga dikenal tekun beribadah. Ia tidak pernah lalai untuk menunaikan shalat tahajud. Shalatnya khusyuk. Ia memiliki kebiasaan setelah mengimami shalat fardhu di masjid, selalu shalat sunah di rumahnya, sesuai dengan sunah Nabi SAW.

Waktu antara Maghrib dan Isya diisinya dengan shalat empat rakaat. Walaupun disibukkan oleh aktivitas mengajar dan mengarang buku, Ibnu Qudamah selalu menyempatkan waktu untuk mengulang hafalan sepertujuh Alquran setiap harinya. Mungkin berkat keistikamahannya dalam beibadah ini Allah menganugerahkan banyak karamah kepadanya.

Pada 583 H, ketika Salahuddin al-Ayyubi mengumpulkan pasukan untuk mengusir Tentara Salib dari tanah Palestina, Ibnu Qudamah dan para santrinya ikut serta menjadi mujahidin. Waktu itu Ibnu Qudamah telah berusia 42 tahun. Dalam Perang Sabilillah itu keberanian Ibnu Qudamah begitu tampak. Ia maju ke garis musuh, menyerang mereka hingga dari telapak tangannya mengalir darah. Hingga akhirnya, pasukan tentara Islam berhasil merebut kembali Yerusalem dari Pasukan Salib. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement