Rabu 06 May 2020 01:20 WIB

Menggugat Keadilan Semu Ala KPK

Upaya membuat jera para koruptor masih sangat minim.

Teguh Firmansyah.
Foto: Teguh Firmansyah
Teguh Firmansyah.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*)

Ada yang berbeda saat jumpa pers penindakan KPK beberapa waktu lalu. Jika sebelumnya, tersangka KPK, tak pernah ditampilkan saat rilis, namun kini justru sebaliknya.

Tersangka dihadirkan dengan posisi menghadap ke belakang atau memunggungi komisioner KPK yang memberikan keterangan pers.  Modelnya mirip-mirip dengan kepolisian yang menghadirkan tersangka apakah itu kasus narkoba, pencurian, perampokan, atau pembunuhan.

Tersangka pertama yang menjadi 'model' saat rilis KPK yakni Ketua DPRD Muara Enim Aries HB dan Plt Kepala Dinas PUPR Muara Enim Ramlan Suryadi.

Menurut Ketua KPK Firli Bahuri, alasan menghadirkan para tersangka adalah untuk memberi efek jera. Kehadiran mereka juga menunjukkan keadilan hukum antara koruptor dan kejahatan lain atau bahasa kerennya 'equality before the law"

Tiga hari sebelumnya, tersiar kabar, Pengadilan Tinggi DKI yang memangkas vonis politikus PPP Romahurmuziy alias Romi dari dua tahun menjadi tinggal hanya 1 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan. Meski KPK mengajukan kasasi, namun Romi dapat melenggang bebas. Kubu Romi tetap meyakini mereka tak bersalah. 

Putusan terhadap Romi menambah daftar rendahnya vonis yang dijatuhkan hakim buat terpidana koruptor.  Dalam catatan ICW, rata-rata vonis koruptor pada 2019 hanya dua tahun, tujuh bulan pidana penjara. Artinya masih jauh dari sanksi yang dapat membuat kapok para koruptor.

Disinilah yang jadi pertanyaan kalau kita bicara keadilan, apakah cukup dengan menampilkan para koruptor dipajang saat rilis, tapi pada kenyataannya vonis mereka rendah?  Para koruptor ngeruk duit sedemikian banyak, selepas dari penjara masih bisa ongkang angking kaki, jalan-jalan ke mal, minum kopi di resto bergengsi atau bahkan liburan ke luar negeri.

Lantas di mana sebuah keadilan hukum?

Di era pimpinan KPK terdahulu juga sudah dilakukan beragam upaya untuk memalukan para napi koruptor. Salah satunya lewat rompi KPK. Pada 2012, KPK sempat merilis rompi berwarna putih dengan tulisan "Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi'.

Salah satunya yang pakai rompi ini adalah Deputi Gubernur Senior Bank BI Miranda Gultom. Namun alih-alih bak tahanan, Miranda tetapi tampil modis.  Pada 2013 kemudian ada perubahan menjadi warna oranye. Bambang Widjojanto yang menjadi pimpinan KPK saat itu  mengatakan, pemilihan warna oranye agar ketahuan mereka adalah tahanan KPK. Jadi kalau kabur dapat mudah dikenali.

Tapi apakah semua itu membuat jera para koruptor?

Pada kenyataannya kan tidak. Keadilan simbolis ini hanya menghadirkan keadilan semu yang tidak membuat efek jera pada pelakunya.  Apalagi, jika koruptor itu sudah tidak punya rasa malu. Maka apalah artinya menampikan tersangka di publik? Tentu hal itu tidak akan menyelesaikan persoalan sesungguhnya.

Satu musuh utama yang ditakuti oleh koruptor itu adalah kemiskinan. Mereka takut hartanya hilang. Mereka takut menderita dan tak punya apa-apa lagi. Sayang, pasal pemiskinan yang tertuang dalam UU TPPU jarang sekali digunakan.

ICW mencatat dari total 1.125 orang terdakwa sepanjang 2019, penerapan UU TPPU hanya dilakukan terhadap delapan orang terdakwa. Bayangkan, hanya delapan orang terdakwa. Angka itu sangat minim sekali, dan jauh dari semangat pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Sejatinya, penegak hukum mempunyai komitmen yang sama soal agenda pemberantasan korupsi ini. Dari mulai penyidik, jaksa hingga hakim. Satu saja 'berkhianat' maka tidak akan berarti. Ujung-ujungnya vonis rendah, atau terdakwa malah bebas.

Dan hal terpenting adalah, penegakan hukum harus bebas dari anasir-anasir politik. Jika politik masih menjadi ujung tombak, maka hukum hanya akan jadi alat. Hukum akan menjadi tebang pilih. Hukum bisa sangat kuat bagi mereka yang tak punya pengaruh atau koneksi, namun sebaliknya hukum bisa menjadi cair dan kurang bergairah bagi orang kuat.

Jika ini terjadi maka keadilan benar-benar sudah mati. Keadilan hanya sekadar simbol-simbol angka-angka keberhasilan penangkapan hingga jumlah eksekusi perkara. Keadilan hanya simbol-simbol memajangkan tersangka atau memakaikan para koruptor dengan kostum oranye. Namun faktanya keadilan itu hanya sekedar gincu. Sebuah keadilan semu.  

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement