Senin 04 May 2020 12:38 WIB

Usulan Cetak Rupiah Rp 4.000 T, Ekonom: Bisa Hiperinflasi

Keputusan mencetak uang baru harus dikaji dampaknya ke inflasi dan stabilitas rupiah.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Friska Yolandha
Ilustrasi Inflasi. Mencetak uang dalam jumlah besar akan berdampak pada inflasi yang sangat tinggi.
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Inflasi. Mencetak uang dalam jumlah besar akan berdampak pada inflasi yang sangat tinggi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usulan mantan menteri perdagangan Gita Wirjawan agar Bank Indonesia (BI) mencetak rupiah sebanyak Rp 4.000 triliun disebut akan menyebabkan hiperinflasi. Menurut ekonom Indef Bhima Yudhistira, pencetakan uang rupiah oleh BI perlu dilakukan berdasarkan kajian tertentu.

"Usulan dari Pak Gita ini perlu dikaji secara hati-hati karena tidak segampang itu BI cetak uang. Harus ada itu, riset akademisnya, apalagi nilai cetak uang yang diusulkan tidak kecil," ujar Bhima kepada Republika.co.id, Senin (4/5).

Baca Juga

Bhima menjelaskan, Bank Indonesia berbeda dengan bank sentral AS Federal Reserve yang dapat dengan bebas mencetak dolar AS. Dolar AS dipakai oleh sebanyak 85 persen transaksi ekspor-impor dunia, sedangkan rupiah bukan mata uang yang dipakai secara internasional.

Dalam penerbitan rupiah, harus ada kajian terkait dampak ke inflasi, dampak ke stabilitas rupiah, kemudian juga ke sektor riil, pertumbuhan ekonomi, sampai ke serapan tenaga kerja. "Soal uangnya ke mana belum tentu juga akan langsung dikonsumsi. Kalau arah cetak uang dinikmati korporasi, uangnya justru dibawa lari ke luar negeri, misalnya ke Singapura," katanya.

Konsekuensi dampak ke inflasi juga perlu sangat diperhitungkan. Apalagi, saat ini Indonesia saat ini sudah dihadapi dengan prediksi krisis pangan. Upaya penambahan suplai uang tetapi tidak berdasarkan pada permintaan ini bisa menyebabkan hiperinflasi atau inflasi yang sangat tinggi.

Bhima membandingkannya dengan hiperinflasi yang terjadi pada era Orde Lama. Pada tahun 1960-an, ekonomi Indonesia dengan cepat hancur karena utang dan inflasi, sementara ekspor menurun.

Puncak inflasi berada di atas 100 persen (year on year) pada tahun 1962-1965 karena pemerintah dengan mudahnya mencetak uang untuk membayar utang dan mendanai proyek-proyek megah, seperti pembangunan Monas. "Ujungnya bisa memukul daya beli masyarakat," kata Bhima.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement