Senin 04 May 2020 06:24 WIB

KPK Ajukan Kasasi Romi, Busyro Berharap Penuh kepada MA

Masyarakat memiliki harapan penuh terhadap ketua MA yang baru saja terpilih.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Rommy Romahurmuzy
Foto: Republika/Yasin Habibi
Rommy Romahurmuzy

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengapresiasi langkah KPK yang mengajukan kasasi putusan banding mantan ketua umum PPP Romahurmuziy atau Romi. Busyro mengaku berharap penuh dengan Mahkamah Agung (MA).

“Saya apresiasi KPK telah mengajukan kasasi ke MA. Sekarang kita lihat bagaimana pimpinan MA bisa lebih peka, kritis atau permisif,” kata Busyro kepada Republika, Ahad (3/5).

Busyro mengatakan, saat ini masyarakat memiliki harapan penuh terhadap ketua MA yang baru saja terpilih, M Syarifuddin. Ia pun berharap agar Syarifuddin tampil dengan penuh teladan, keberanian, dan sikap tegas terhadap koruptor tukang pengisap darah rakyat miskin dan sumber daya alam milik rakyat yang berdaulat.

Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK tetap mengajukan upaya hukum kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap Romi meskipun mantan ketua umum PPP itu telah lepas dari Rumah Tahanan KPK. Sebelumnya, PT DKI Jakarta memangkas hukuman Romi menjadi 1 tahun penjara.

“KPK memastikan telah mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung sejak 27 April 2020 lalu,” kata Ali menegaskan.

KPK memandang, terdapat sejumlah persoalan pada putusan banding PT DKI di antaranya majelis hakim tingkat banding telah menerapkan hukum atau menerapkan hukum, tetapi tidak sebagaimana mestinya.  Hal itu terlihat dalam pertimbangan mejelis banding terkait penerimaan uang oleh terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa. Padahal, jelas-jelas uang tersebut telah berpindah tangan dan beralih dalam penguasaan terdakwa.

Majelis hakim tingkat banding juga tidak menerapkan hukum atau menerapkan hukum pembuktian tidak sebagaimana mestinya pada saat mempertimbangkan mengenai keberatan penununtut umum terkait hukuman tambahan kepada terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik dengan tidak memberikan pertimbangan hukum yang jelas terkait ditolaknya keberatan penuntut umum tersebut. Selain itu, majelis hakim tingkat banding tidak memberikan pertimbangan yang cukup terkait penjatuhan pidana kepada terdakwa yang terlalu rendah.

KPK berharap MA dapat mempertimbangkan alasan permohonan kasasi KPK sesuai fakta hukum yang ada dan juga menimbang rasa keadilan masyarakat, terutama karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa. “KPK juga menyadari masyarakat sangat memperhatikan kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani, termasuk aspek rendahnya hukuman untuk terpidana korupsi,” ujar Ali.

Indonesia Corruption Watch (ICW) berharap agar MA dapat mengadili sendiri dan membatalkan putusan pada tingkat sebelumnya. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang telah muncul di persidangan dan juga dilampirkan dalam putusan, Romi terbukti menerima suap lebih dari Rp 300 juta.

“Semestinya MA dapat menghukum maksimal atau lebih berat dibanding tingkat pengadilan sebelumnya dan juga mencabut hak politik dari yang bersangkutan,” tutur Kurnia.

Karena, Kurnia menambahkan, putusan terhadap kasus korupsi seperti Romi akan selalu disorot oleh masyarakat. Pasalnya, putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi amat mencoreng rasa keadilan masyarakat.

“ICW bahkan sempat mencatat putusan Rommy yang notabene mantan ketua umum parpol justru lebih rendah dibandingkan putusan seorang kepala desa di Kabupaten Bekasi serta paling rendah dibantara ketua umum parpol yang pernah dijerat oleh KPK. Jika putusannya masih sama seperti tingkat banding maka sudah selayaknya publik mempertanyakan keberpihakan lembaga peradilan pada sektor pemberantasan korupsi,” tutur Kurnia.

Oleh karena itu, ia melanjutkan, penting untuk diingatkan kembali bahwa Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan praktik korupsi yang benar-benar telah mengusik keadilan masyarakat, sudah selayaknya putusan hakim dapat memberikan efek jera yang maksimal.

“Bisa dibilang, dalam kondisi seperti ini publik amat merindukan adanya sosok seperti Artidjo Alkostar kembali di Mahkamah Agung. Karena selepas Artidjo purnatugas praktis putusan-putusan Mahkamah Agung kerap ringan kepada pelaku korupsi,” ungkap Kurnia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement