Ahad 03 May 2020 13:44 WIB
Gundik

Kisah Gundik dan Nyai Di Batavia

Kisah Gundik dan Nyai

Tuan Eropa bersama perempuan piarannya di Batavia.
Foto: Historia
Tuan Eropa bersama perempuan piarannya di Batavia.

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Meski semenjak dahulu kala kota Batavia terkesan gemerlap, faktanya tak hanya surga dunia yang ada di tanah orang Betawi. Neraka dunia pun ada. Tak hanya dilanda kerusuhan, perang, dan kemiskinan, Batavia dulu pun menjadi surga pergundikan atau per-“nyaian”. Bahkan, para sejarawan juga bilang bahwa Batavia hanyalah bagian kecil dari dunia pergundikan yang sudah begitu eksis dan merata pada zaman kolonial.

Bahkan, tidak tanggung-tanggung pada awal 1800 ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, untuk pertama kali menginjakkan kakinya di Batavia, dia mendapatkan kenyataan buruk, maraknya pergundikan itu. Dia melihat langsung betapa para pejabat Belanda terbiasa hidup berfoya-foya dengan memelihara “perempuan pribumi” tanpa nikah tersebut.

Menyadarit meluasnya pergundikan itu, Daendels yang tinggal di Batavia dengan mengemban tugas khusus dari Napoleon untuk mengamankan Jawa dari serbuan tentara Inggris, segera mengetahui betapa rendah semangat dan moral aparat pemerintahannya di dalam menjalankan tugas. Ia khawatir melihat kenyataan sedikitnya jumlah orang Eropa yang berdiam di Hindia Belanda yang bisa dikerahkan untuk menghadapi bala tentara Inggris bila datang menyerang. Meluasnya praktik “Pernyaian” menjadi salah satu sebabnya.

Penulis buku Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda, Reggie Baay, dalam sebuah wawancara beberapa tahun silam, mengakui situasi itu dengan sikap terbuka. Meski dia orang Belanda dan juga merupakan keturunan “nyai”, mengatakan mulai abad ke-18 M Batavia pada saat itu memang sudah layak disebut sebagai kota gundik dan budak.

‘’Hampir semua pejabat pemerintah pasti punya dua hal tersebut. “Nyai dan budak itulah yang melayani kebutuhan tuan pejabat Eropanya,’’ kata Reggie.

Kisah<a href= Nyai dan Pergundikan di Batavia (Bagian 1) | Republika Online" data-deferred="1" data-atf="true" data-iml="811" />

Ketika Daendels Terkejut Ketika Menemukan Fakta Batavia Dipenuhi Anak Hasil Pergundikan

Melihat situasi itu, Daendels pada saat itu juga langsung mengambil tindakan. Dia segera saja melipatgandakan kedatangan orang Eropa ke Batavia. Namun sayang, usaha ini gagal total karena buruknya dan lamanya waktu pelayaran dari Eropa ke Batavia sehingga banyak gadis Eropa yang meninggal di perjalanan. Apalagi kemudian terbukti ternyata perempuan kulit putih yang dikirim ke Hindia Belanda sebagian besar perempuan bermoral rendah atau terbiasa hidup dengan menjajakan layanan seksual.

Dan, yang paling membuat Daendels terkejut adalah ketika dia membuka perekrutan tenaga tentara. Ternyata, mereka yang mau mendaftar adalah kebanyakan “orang Indo” atau anak-anak dari perempuan yang dipiara “tuan putih kolonial”. Tak cukup dengan itu, Daendels pun semakin merasa heran akan banyaknya anak yang lahir dari hubungan campur yang kebanyakan mereka kemudian ditelantarkan sang ayah Eropanya.

Demi mencegah meluasnya bencana, terutama untuk menyelamatkan kepentingan kolonialnya dan untuk memperoleh pasokan anggota tentaranya, Daendels kemudian melakukan pengesahan anak-anak Eurasia secara hukum. Anak-anak dari para nyai ini kemudian diakui secara resmi oleh ayah Eropanya. Ini dilakukan Daendels dengan harapan mereka nanti ketika sudah menjadi tentara akan setia kepadanya.

Usaha yang sama kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Hindia Belanda berikutnya yang berasal dari Inggris, Raffles, yang datang ke Batavia pada 1811. Raffles pun melihat “kejanggalan” itu. Ia juga mendapati meluasnya praktik pergundikan hingga ke kalangan elitenya. Bagi Raffles dan para orang Inggris lainnya yang saat itu kebanyakan masih punya landasaran moral sangat konservatif dalam urusan seks, menjalani hubungaan seksual dengan perempuan Asia, lebih parah lagi sampai menikahi mereka, adalah merupakan aib yang sangat besar.

Tak cukup hanya dengan prihatin, Raffles mulai menerapkan pelarangan atas praktik aib ini. Bukan hanya itu, bersama istrinya, Olivia, Raflles selaku gubernur jenderal Hindia Belanda saat itu pun berusaha memberi contoh secara langsung. Ia berpendapat bahwa istri, terutama istri laki-laki yang punya jabatan tinggi, harus melakukan tugas tertentu di masyarakat. Olivia mendapat tugas penting resmi untuk menjalin kontak dengan pejabat tinggi pribumi dan Eropa di Hindia Belanda.

Akiba kebijakan ini, para pejabat dan penduduk Belanda yang lama di koloninya pun terpaksa mengikutinya. Mereka juga semakin sering tampil keluar bersama istri yang juga semakin terlihat dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, kebijakan Raffles ini sempat menajdi tren dan terus berlangsung hingga beberapa dasawarsa ke depan.

Namun, seperti yang ditulis Reggie Bay, sikap gubenrus jendral asal Inggris yang tak membenarkan pergundikan di Hindia Belanda in, ternyatai tidak serta-merta menjamin lenyapnya pergundikan di bawah pemerintahan kolonial mereka. Bahkan warga Inggris pun terkadang hidup secara terang-terangan hidup serumah dengan para gundik Asianya.

Nasib Anak Gundik dan Babu Sengsara, Karena Anak Haram?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement