Sabtu 02 May 2020 05:52 WIB

Kajian Ramadhan Tentang Itsar pada Era Ottoman Empire

Menurut Sultan Abdul Hamid, Ramadhan membuat semua Mukmin menjalankan itsar.

Sultan Abdul Hamid II bersama para pasha dalam serial Payitaht: Abdülhamid.
Foto: @payitaht
Sultan Abdul Hamid II bersama para pasha dalam serial Payitaht: Abdülhamid.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra

Penguasa Kekhalifahan Utsmaniyah atau Ottoman Empire, Sultan Abdul Hamid II mengadakan pengajian Ramadhan di salah satu ruang kerjanya di Istana Yildiz, Konstantinopel atau Istanbul. Pengajian tersebut dihadiri Tahsin Pasha, Sehzade (Pangerang) Mehmet Salim dan Abdul Kadir, pegawai Istana, serta anak-anak. Sultan Abdul Hamid (berkuasa pada 31 Agustus 1876–27 April 1909) meminta Ismail Hakki Bey, seorang pasha (menteri) yang membidangi pendidikan untuk memulai pengajian menyambut datangnya bulan suci umat Islam itu.

Momen tersebut menjadi salah satu bagian serial Payitaht: Abdülhamid sesi tiga episode 33 atau 87 secara keseluruhan. Film ini diangkat berdasarkan hasil catatan pribadi Sultan Abdul Hamid ketika memimpin Kekhalifahan Utsmaniyah yang ditayangkan televisi nasional Turki, TRT-1. Untuk memperkuat jalannya cerita sejarah, keturunan langsung Sultan Abdul Hamid, yaitu Orhan Osmanuglu dilibatkan dalam pembuatan film.

Ismail Hakki Bey pun mengangkat kisah tentang pelajaran itsar--bahasa Turki menyebutnya isar--yang wajib dimiliki kaum Muslim, khususnya pada bulan Ramadhan. "Saya membuka pelatihan kedamaian yang kita lakukan setiap bulan Ramadhan atas izin Sultan kita, insya Allah," ucap Ismail Hakki Bey sambil menatap Sultan Abdul Hamid yang menyilakannya membuka pengajian Ramadhan.

"Maka marilah kita mengawali dengan isar, yang menjadi karakter terbaik dari seorang Mukmin," ucap Ismail.

"Dikatakan dalam sebuah riwayat hadist shahih Bukhari: 'Seorang pria mendatangi Rasulullah Sallahu Alaihi Wasallam (SAW)'," kata Ismail. "Sallahu Alaihi Wasallam," jawab Sultan Abdul Hamid dan hadirin serempak.

Ismail melanjutkan, "Dia meminta pertolongan darinya, ia berkata bahwa ia membutuhkan sesuatu. Nabi tercinta kita mengirimkan kabar kepada salah satu istrinya, menanyakan apakah ada sesuatu yang bisa dimakan."

"Kemudian ia (istri Nabi) membalas, 'Aku bersumpah dengan nama Allah yang memberimu wahyu agama yang benar, tidak ada apa pun selain air di rumah'," ujar Ismail.

Dia melanjutkan, "Lalu beliau memutuskan untuk meminta pertolongan kepada sahabatnya, untuk seorang Muslim yang tak bisa beliau penuhi kebutuhannya. Dan beliau berdoa agar Allah memberi rahmat kepada orang yang mau menampungnya malam itu."

Menurut Ismail, "Semua orang di masjid ingin mendapatkan doa Rasulullah. Tetapi para sahabat Nabi bukan lah orang kaya. Karena banyak dari mereka yang meninggalkan kekayaannya di Makkah dan berhijrah ke Madinah. Dan umat Muslim di Madinah membagi makanan dan rumah mereka kepada saudara-saudara Muhajirin."

Ismail menuturkan, "Tetapi seorang Muslim yang berasal dari Madinah, Abu Talha Radhiyallahu 'anhu berdiri dan berkata bahwa ia akan membantu saudara Muslim dan menampungnya. Dan membawa orang tersebut ke rumahnya malam ini."

"Dia (Abu Talha) yang mengetahui bahwa tidak ada cukup makanan untuk anak-anaknya sendiri berkata kepada istrinya, untuk menidurkan anaknya dan membawakan makanan kepada tamu dengan tujuan menjamu tamu Rasulullah," ucap Ismail.

Kemudian, istrinya menidurkan anak-anaknya dan mempersiapkan makanan. Sang istri mematikan lampu, berpura-pura membenahi meja, setelah tamu dan pemilik rumah duduk. "Kemudian, tamu memakan makanannya tanpa mnyadari bahwa pemilik rumah tidak makan. karena hanya ada makanan untuk stu orang saja," kata Ismail menjelaskan.

Dia menambahkan, "Pasangan itu tidur dengan perut kosong bersama anak-anak mereka malam itu. Tetapi hati mereka terisi dengan kedamaian. Karena mereka telah menjamu tamu Rasulullah dan mendapatkan doa darinya."

Ismail menjelaskan, keesokan harinya, Nabi SAW berkata bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala (SWT), senang dengan sikap Abu Talha dan istri dalam melayani tamu. Dan beliau mengabarkan telah diturunkan kepadanya ayat kesembilan Surat Al-Hasyr yang menceritakan tentang mereka.

"Mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang telah diberikan kepada mereka, dan mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin, atas diri mereka sendiri sekali pun mereka dalam kesusahan," kata Ismail.

Dia pun menyimpulkan pelajaran berharga dari peristiwa itu adalah, "Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung."

Sultan Abdul Hamid menjelaskan, sikap keluarga Madinah memperoleh kebanggaan dan kecintaan dari Allah SWT. "Dan ini adalah salah satu contoh yang sangat baik dari isar."

Sultan pun memuji Ismail yang bisa menceritakan kisah tersebut dengan indah. "Isar adalah sikap memikirkan orang lain ketika kalian berada dalam kekurangan. Ini adalah tahap tertinggi dari mementangkan saudaramu daripada dirimu sendiri. Ramadhan adalah bulan yang membuat semua Mukmin menjalankan isar. Pada bulan ini, orang-orang menolong satu sama lain dalam situasi apa pun," begitu Sultan berpesan kepada hadirin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement