Jumat 01 May 2020 12:59 WIB

Surplus-Defisit Pangan tak Masalah Asal Distribusi Lancar

Infrastruktur hilir diminta jadi perhatian agar distribusi pangan tak bermasalah

Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi mengatakan data surplus dan defisit pangan ini perlu diluruskan supaya pemahaman tepat dan tidak simpangsiur
Foto: Kementan
Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi mengatakan data surplus dan defisit pangan ini perlu diluruskan supaya pemahaman tepat dan tidak simpangsiur

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Simpang siur berbagai pemberitaan tentang wilayah surplus defisit pangan saat ini menjadi perbincangan di tengah pandemi covid 19. Pemerintah menjamin 11 kebutuhan bahan pokok nasional dalam kondisi aman dan terkendali, yakni beras, daging sapi dan ayam, minyak goreng, telur, bawang putih, bawang merah, aneka cabai dan gula.

Tentang hal ini, Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi mengatakan data surplus dan defisit pangan ini perlu diluruskan supaya pemahaman tepat dan tidak simpang siur. Yang paling penting adalah ini masalah teknis berproduksi dan distribusi antar wilayah karena Indonesia secara archipelago merupakan negara kepulauan sehingga tidak relevan jika diseret ke ranah politik.

“Indonesia itu negara kepulauan dengan sumber alam berbeda beda. Sejak dulu, sudah puluhan tahun, sudah terbentuk sentra-sentra pangan, tidak merata seluruh Indonesia. Ada daerah yang surplus dan ada juga defisit, namun secara nasional surplus. Karena itu, penataan alur distribusi menjadi penting," demikian dikatakan Prima Gandhi di Bogor, Jumat (1/5).

Menurut pria yang akrab disapa Gandhi ini, arah kebijakan pemerintah sudah tepat membangun pertanian berdasarkan agroekosistem, keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah, sehingga diperoleh efisiensi dalam berproduksi, kawasan berskala ekonomi, tidak kecil kecil terpencar-pencar. Hasilnya sudah ada pangan cukup, tapi aspek distribusi supaya efisien guna memasok pangan bagi seluruh penduduk.

"Kini sudah kita lihat bersama, sudah terbentuk sentra pemasok pangan, seperti Pulau Jawa, Sumatera kecuali Kepri dan Babel, Kalimantan kecuali Kaltara, Sulawesi, Bali, NTB itu lumbung beras memasok seluruh wilayah," ungkapnya.

Pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, IPB ini menegaskan dengan luas baku sawah 7,4 juta hektar bisa ditanami dua atau tiga kali setahun cukup memenuhi kebutuhan 2,5 juta ton beras perbulannya. Justru yang menjadi pekerjaan rumah terbesar adalah menyelesaikan sistem distribusi dan sistem logistik ke wilayah kepulauan. 

"Infrastruktur hilir ini menjadi perhatian agar pasokan pangan mengalir lancar dan efisien dari wilayah surplus ke wilayah lain," papar Gandhi.

Lebih lanjut Gandhi menyebutkan beberapa wilayah memang tidak mengembangkan bawang merah, karena tidak semua kabupaten cocok dan sesuai, kalaupun dipaksakan dengan teknologi juga tidak kompetitif. Maka kini terbentuklah sentra bawang merah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, NTB, Sulawesi Selatan yang hasilnya ratusan ribu ton perbulan mampu memasok ke seluruh provinsi. Hal yang sama untuk cabai, sapi, gula dan lainnya. 

"Jadi jangan heran jika sejak dulu, kini dan sampai kapanpun ada wilayah sentra dan non sentra, ada yang surplus, ada yang defisit. Ini tidak masalah, apabila prasarana distribusinya dibangun secara baik," jelasnya.

Oleh karena itu, Gandhi menegaskan surplus defisit itu adalah soal hitungan neraca pangan, sudah diketahui bersama bahwa wilayah defisit itu bukan berarti kekurangan pangan. Sumberdaya pangan lokal di setiap wilayah siap mensubstitusi. 

"Contohnya kebutuhan pangan wilayah Riau dan Kepulauan Riau ada sagu dan pangan lokal lain. NTT ada jagung komposit, ada shorgum, ada ubi. Wilayah Maluku dan Papua tetap aman ada sagu, aneka umbi. Untuk diketahui Merauke Papua produksi beras melimpah karena sumberdaya alamnya," tuturnya.

Dengan demikian, menurut Gandhi, arahnya pemerintah juga sudah jelas, bahwa di setiap wilayah NKRI harus mampu mencukupi pangan sendiri, apapun potensi ditanam, dibudidayakan dan dikonsumsi masyarakat. Sudah dipetakan wilayah eksisting dan wilayah mana saja yang bisa digali potensinya, yang bisa digarap untuk pangan. 

"Ratusan ribu bahkan jutaan hektar potensi wilayah di luar Jawa masih terbuka dengan teknologi dan proses budidaya yang tepat untuk pangan," ungkapnya.

Perlu diketahui, perkiraan ketersediaan pangan nasional berdasarkan perkiraan produksi yang dirilis BPS, terdapat surplus beras hingga Juni 2020 diperkirakan 6,4 juta ton, jagung surplus 1,01 juta ton, bawang merah surplus 330.384 ton. Delapan komoditas lainnya, yakni bawang putih, cabai merah besar, cabai rawit, daging sapi, daging kerbau, telur ayam, gula pasir, dan minyak goreng, juga diperkirakan surplus.

Untuk komoditas beras, stok beras akhir Maret 2020 sebanyak 3,45 juta ton, yang ada di Bulog 1,4 jt ton, di penggilingan 1,2 jt ton, di pedagang 754 ribu ton, dan di Lumbung Pangan Masyarakat (LPM) 2.939 ton. Ini belum termasuk stok di masyarakat lainnya seperti di rumah tangga dan horeka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement