Jumat 01 May 2020 04:32 WIB
Islam

Buya Hamka Dalam Perbendaharaan Lama: Islam dan Majapahit

Islam pada masa Majapahit

Karya Buya Hamka: Perbendaharaan Lama
Foto: wikipedia
Karya Buya Hamka: Perbendaharaan Lama

REPUBLIKA.CO.ID -- Prof DR Hamka, Ulama dan Penulis Tafsir Al Azhar.

Meskipun telah hidup di zaman baru dan penyelidik sejarah sudah lebih luas daripada dahulu, masih banyak juga orang yang mencoba memutarbalikkan sejarah. Satu di antara pemutarbalikan itu ialah dakwaan setengah orang yang lebih tebal rasa rindunya daripada Islamnya, berkata bahwa keruntuhan Majapahit adalah karena serangan Islam. Padahal bukanlah begitu kejadiannya. Malahan sebaliknya.

Majapahit pada zaman kebesarannya, terutama semasa dalam kendali Patih Gajah Mada, memang adalah sebuah Kerajaan Hindu yang besar di Indonesia, dan pernah mengadakan ekspansi, serangan dan tekanan atas pulau-pulau Indonesia yang lain. 

Gajah Mada bagi Majapahit adalah laksana Bismarck bagi Jerman. Mencita-citakan suatu imperium besar atas seluruh kepulauan Indonesia, malahan sampai ke Semenanjung Melayu telah mendekati Siam. Imperium besar di bawah kekuasaan Majapahit dan beralas dasar kepada suku Jawa! Terlebih banyak serangan-serangan dan tekanan itu dipimpin oleh Patih Gajah Mada sendiri, ataupun orang lain yang disuruhnya. Tetapi Kerajaan Pajajaran, sebuah Kerajaan Hindu lain di Jawa Barat, yang beralas dasar kepada suku Sunda, tidaklah mau takluk demikian saja. Sampai jatuhnya Majapahit, Pajajaran tidak dapat ditaklukkan. 

Dalam kitab pusaka "Negarakertagama" disebut daftar negeri yang ditaklukkan itu. Kerajaan Hindu di Singapura, sebagai lanjutan dari Sriwijaya pun tidak dapat bertahan. Ke Malaya ditaklukkannya sampai-sampai ke Kelantan dan Terenggano. Dan dia pun sampai ke Pasai! 

Pasai adalah Kerajaan Islam yang pertama di Sumatera! 

Dan di Terenggano di waktu ituipun telah berdiri sebuah Kerajaan Islam. Menurut penyelidikan, maka batu bersurat Terenggano, yang sekarang tersimpan di museum Kuala Lumpur menyatakan bahwa sebuah pemerintahan Islam yang menjalankan hukum Islam telah berdiri di sana dalam abad keempat belas. Sebagai Pasai telah berdiri dalam abad kedua belas. 

Kedua Kerajaan Islam yang tua itu hancur lebur dilinyak ekspansi Majapahit! Ialah kira-kira pada tahun 1360. Gajah Mada mati menceburkan diri ke dalam laut (1364). 

Jadi Majapahitlah yang menyerang Kerajaan Islam yang dua itu dengan kekerasan senjatanya. Setelah itu Pasai pun tidak pernah bangun lagi, dengan suatu kerajaan. Hanya tinggallah Ulama- ulama yang merasa kecewa hati, karena semarak Pasai telah hilang, pelabuhan telah dangkal dan kapal-kapal dagang pun tidak banyak lagi yang berlabuh, negeri sudah laksana dialahkan garuda! 

Sungguhpun kerajaan telah jatuh, namun semangat Ulama-ulama Islam itu tidaklah kendor. Meskipun Pasai tidak menjadi pusat politik lagi, Ulama-ulama itu menjadikannya pusat penyiaran Islam! 

 

Makam Troloyo, Kuburan Pelataran, Pemakaman Muslim Trah Majapahit

                              Keterangan Foto: Makam Islam semasa Majapahit di Troloyo

Di dalam Sejarah Melayu, Tun Sri Lanang menulis, bahwa setelah Malaka naik dan maju, senantiasa juga ahli-ahli agama di Malaka menanyakan hukum-hukum Islam yang sulit ke Pasai. Dan jika ada orang-orang besar Pasai datang ziarah ke Malaka, mereka disambut juga oleh sultan - sultan di Malaka dengan serba kebesaran. 

Mereka telah melakukan pekerjaan besar. Jika Pasai diserang dengan kekerasan senjata dan ditaklukkan, mereka pun berniat pula hendak menaklukkan Majapahit itu sendiri. Bukan dengan kekerasan senjata, melainkan dengan keteguhan cita, atau ideologi, menurut term kita sekarang. Mereka pun herangkatlah ke tanah Jawa, menetap ke Jawa Timur (Gresik), menyiarkan Islam sambil berniaga, atau berniaga sambil menyiarkan Islam. Terdapatlah nama-nama Maulana Malik Ibrahim, dan Maulana Ibrahim Asmoro, atau Jumadil Kubra. 

Beliaulah ayahnya Maulana Ishak yang berputerakan Sunan Giri (Raden Paku), dan Sunan Ngampel (Makhdum Ibrahim). Dengan sabar dan mempunyai rancangan yang teratur, guru-guru Islam berdarah Arab - Persia - Aceh, itu menyebarkan agamanya di Jawa Timur, sampai Giri menjadi pusat penyiaran Islam, bukan saja untuk tanah Jawa, bahkan sampai ke Maluku. Sampai akhirnya Sunan Bonang (Raden Rahmat) dapat mengambil Raden Patah, putera Raja Majapahit yang terakhir (Brawijaya) dikawinkan dengan cucunya, dan akhirnya dijadikan Raja Islam yang pertama di Demak. 

Sikap wali-wali itu dalam penyiaran Agama Islam tidak dapat.dicela oleh, raja-raja Majapahit. Bahkan kekuasaan mereka yang kian besar dalam keagamaan dan keduniawian, menyebabkan di antara mereka diakui sebagai adipati dari Kerajaan Majapahit. Lebih 70 tahun kekuasaan Islam telah ada di Jawa Timur sebelum Majapahit jatuh pada tahun 1478. 

Bukanlah karena sikap kekerasan dan penyerangan senjata makanya Majapahit jatuh. Keruntuhan Majapahit adalah sejak Majapahit tidak mempunyai orang besar lagi. Dan rakyat pun dapat melihat perbedaan hidup dari Islam yang selalu menganjurkan kesucian, mencuci muka sekurang-kurangnya 5 kali sehari semalam, mencuci hati daripada ria dan takabbur, berjamaah ke mesjid, bersusun bershaf tidak ada perbedaan kasta. Jauh bedanya dengan ajaran agama, kehidupan masyarakat Hindu! 

Semasa Islam masih disiarkan sedemikian, lebih banyaklah hasilnya menambah pengikutnya. Tetapi setelah runtuh Kerajaan Demak dan naik Pajang menaklukkan Blambangan dengan kekerasan senjata. Maka bila Senapati telah pulang ke Mataram, Blambangan pun berdiri kembali. Padahal di zaman Sunan Giri, Sunan Giri itu sendiri pernah diterima menjadi menantu Raja Blambangan. 

Maka percobaan memutar-balik sejarah mengatakan Majapahit runtuh karena diserang Islam, adalah satu kesalahan yang disengaja terhadap sejarah. Inilah cita-cita yang tertanam dari Prof. Snouck Hourgroroe, yang setelah mengetahui bagaimana teguhnya urat keislaman di Indonesia, memberikan advis kepada pemerintah Belanda supaya ditanamkan rasa "Kebangsaan" yang meruncing pada bangsa Indonesia. Maksud ini berhasil! Maka hilangnya penghargaan kepada Sunan Ngampel dan Sunan Giri, dan tertonjollah ke muka nama Gajah Mada. Turunlah nilai Raden Patah dan Patih Unus yang mencoba mengusir Portugis dari Malaka dan tertonjollah ke muka raja Airlangga. 

Padahal rasa kebangsaan dengan warna yang demikian itu tidaklah akan memperteguh rasa kebangsaan yang kita bina di saat sekarang, bahkan akan memecahkannya. 

Sebab jika orang yang masih mengasihi dan memimpikan Zaman Kehinduan merasa kecil hati melihat runtuhnya Majapahit Hindu, tidaklah kurang dari itu rasa iba hati bangsa Indonesia yang lebih besar pengaruh Islam pada jiwanya mengingat sejarah runtuhnya Kerajaan Islam Pasai dan Kerajaan Islam Terenggano, oleh senjata Majapahit. 

Marilah kita jadikan saja segala kejadian itu, menjadi kekayaan sejarah kita, dan jangan dicoba memutar balik keadaan, agar kokohlah kesatuan bangsa Indonesia, di bawah lambaian Merah Putih! 

Kalau tuan membusungkan dada menyebut Gajah Mada, maka orang di Sriwijaya akan berkata bahwa yang mendirikan Candi Borobudur itu ialah seorang Raja Budha dari Sumatera yang pernah menduduki pulau Jawa. 

Kalau tuan membanggakan Majapahit, maka orang Melayu akan membuka Sitambo lamanya pula, menyatakan bahwa Hang Tuah pernah mengamuk dalam kraton sang Prabu Majapahit dan tidak ada satria Jawa yang berani menangkapnya. 

Memang, di zaman Jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu! Islam kemudiannya adalah sebagai penanam pertama dari jiwa persatuan. Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya. 

Tahukah tuan, bahwasanya tatkala Pangeran Diponegoro, Amirul Mukminin Tanah Jawa telah dapat ditipu dan perangnya dikalahkan, maka Belanda membawa Pangeran Sentot Ali Basyah ke Minangkabau buat mengalahkan Paderi? Tahukah tuan bahwa setelah Sentot merasa dirinya tertipu, sebab yang diperanginya itu adalah kawan sefahamnya dalam Islam, dan setelah kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau memperhatikan ikatan serbannya sama dengan ikatan serban Ulama Minangkabau, sudi menerima Sentot sebagai "Amir" Islam di Minangkabau? Teringatkah tuan, bahwa lantaran rahasia bocor dan Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke Bengkulu dan di sana beliau berkubur buat selama-lamanya? 

Maka dengan memakai faham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana! 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement