Banggar DPR Sarankan BI Lanjutkan Quantitative Easing

Banggar merekomendasikan BI membeli SBN repo milik perbankan dengan bunga dua persen.

Kamis , 30 Apr 2020, 15:11 WIB
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR periode 2019-2024 dari Fraksi PDI Perjuangan Said Abdullah memegang palu pimpinan usai rapat penetapan Ketua Banggar di ruang Banggar, Kompleks Parlemen, Jakarta, akhir 2019 lalu. Banggar merekomendasikan Bank Indonesia membeli SBN repo milik perbankan.
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR periode 2019-2024 dari Fraksi PDI Perjuangan Said Abdullah memegang palu pimpinan usai rapat penetapan Ketua Banggar di ruang Banggar, Kompleks Parlemen, Jakarta, akhir 2019 lalu. Banggar merekomendasikan Bank Indonesia membeli SBN repo milik perbankan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR MH Said Abdullah mengatakan, pemerintah telah mengambil langka-langkah dalam penanganan untuk mengatasi pandemi Covid-19. Melihat besarnya kebutuhan pembiayaan yang diperlukan, Badan Anggaran DPR memperkirakan skenario penganggaran yang direncanakan pemerintah kurang mencukupi.

Dia merinci kekurangan tersebut antara lain pertama ancaman terhadap keringnya likuiditas perbankan sebagai akibat menurunkannya kegiatan ekonomi, sehingga menurunnya kemampuan debitur membayar kredit. Kedua membesarnya kebutuhan pembiayaan APBN yang tidak mudah ditopang dari pembiayaan global bond maupun pinjaman internasional melalui berbagai lembaga keuangan.

Baca Juga

Badan Anggaran DPR RI merekomendasikan kepada Bank Indonesia (BI) dan pemerintah untuk melakukan  kebijakan quantitative easing lebih lanjut agar BI membeli SBN/SBSN repo yang dimiliki perbankan dengan bunga dua persen, khususnya perbankan dalam negeri agar memiliki kecukupan likuiditas.

"BI memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek kepada perbankan untuk mempertebal likuiditas sehingga peran perbankan sebagai transmisi keuangan tetap optimal dan sehat," kata Said dalam keterangan tulis, Kamis (30/4).

Kemudian BI mencetak uang dengan jumlah Rp 400 triliun hingga Rp 600 triliun sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah. Mengingat di tengah perlambatan ekonomi seperti saat ini, tidak mudah mencari sumber sumber pembiayaan, meskipun dengan menerbitkan global bond dengan bunga besar. 

"Bank Indonesia dapat menawarkan yield sebesar 2 persen sampai 2,5 persen, sedikit lebih rendah dari global bond yang dijual oleh pemerintah," ucap Said.

Selanjutnya kebijakan mencetak uang di atas harus memperhitungkan biaya operasi moneter BI, sehingga biaya tersebut tidak boleh dibebankan kepada pemerintah. Oleh sebab itu, besaran yield tidak boleh lebih rendah dari biaya operasi moneter agar tidak menimbulkan kerugian bagi BI. Juga tidak menyebabkan modal lebih rendah 10 persen dari kewajiban moneternya.

"Kebijakan mencetak uang sebagaimana di atas harus memperhitungkan dampak inflasi yang ditimbulkan, sekaligus tekanan kurs terhadap rupiah," ucap Said.