Dampak Corona Bagi Penerbangan Lebih Dahsyat dari 2008

Saat ini tak ada penerbangan yang beroperasi di dunia akibat corona

Rabu , 29 Apr 2020, 14:28 WIB
Aktivitas penerbangan di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Aktivitas penerbangan di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Sitorus, memprediksi dampak krisis Covid-19 yang dirasakan industri penerbangan sangat besar. Terlebih, tidak ada yang bisa menjamin kapan pandemi Covid-19 akan berakhir.

“Bagi airlines, impact corona virus ini jauh lebih dahsyat dibanding kejadian 9/11 dan krisis global 2008 jika digabungkan, praktis tidak ada airlines yang beroperasi saat ini di dunia,” ujar Deddy dalam keterangan yang diterima Republika, Rabu (29/4).

Baca Juga

Politikus PDIP itu mengungkapkan, berdasarkan data yang dia peroleh, maskapai penerbangan di dunia akan kehilangan pendapatan sebesar 252 miliar dolar AS hingga menjelang pertengahan 2020. Saat ini, kata Deddy, seluruh maskapai di dunia melakukan program restrukturisasi yang melibatkan pemerintah maupun tidak.

Sebagai contoh, kata Deddy, Singapore Airlines yang beberapa minggu lalu mendapat dana segar 19 miliar dolar Singapura dan 5,3 miliar dolar Singapura penerbitan saham baru, ditambah 9,7 miliar dolar Singapura, dan pinjaman dari DBS sebesar 4 miliar dolar Singapura. Bantuan serupa juga diterima Qantas yang mendapat 1,1 miliar dolar Australia dari pemerintah negeri kanguru tersebut.

“Bagaimana dengan Garuda Indonesia? Apakah Garuda Airlines bisa survive dalam krisis ini? Garuda Airlines ini ibarat orang yang jatuh tertimpa tangga, ketiban cat, dan tertimbun tembok,” ujar Deddy.

Anggota DPR dari daerah pemilihan Kalimantan Utara itu mengatakan, hingga saat ini belum terdengar program penyelamatan Garuda Indonesia dari krisis Covid-19 dan pemulihan saat pandemi ini berlalu. “Yang kita tahu Garuda menghentikan operasinya karena penerapan PSBB dan Garuda harus membayar utang jatuh tempo Juni 2020,” ujar Deddy.

“Garuda adalah epicenter industri penerbangan di Indonesia, penyelamatan Garuda sangat penting, untuk menyelamatkan industrinya,” kata dia lagi.

Ratusan ribu pekerja di industri penerbangan, lanjut Deddy, harus diselamatkan mulai dari ground handling, jasa pengiriman, bandar udara, dan lainnya.

Menurut Deddy, penyelamatan Garuda Indonesia bukan hanya dengan ‘menunda’ kewajiban membayar utang yang jatuh tempo pada 2020, di antaranya adalah SUKUK sebesar 500 juta dolar AS yang jatuh tempo pada Juni 2020.

Penyelamatan Garuda Indonesia harus melalui restrukturisasi menyeluruh dan mendalam. Restrukturisasi itu meliputi restrukturisasi operasi, restrukturisasi aspek kecukupan modal, restrukturisasi model bisnis, dan pengaturan arus kas perusahaan.

“Garuda juga harus menyiapkan recovery program pascaCovid-19, mulai dari skenario recovery demand, skenario market structure, sampai saatnya kondisi normal. Karena impact dari krisis corona ini bisa 3-5 tahun, Garuda dan pemerintah harus bahu membahu menyelamatkan industri penerbangan nasional,” ujar anggota Fraksi PDI Perjuangan itu.