Intip Kondisi Ramadhan Kamp Pengungsi Suriah di Yordania

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil

Rabu 29 Apr 2020 11:30 WIB

Intip Kondisi Ramadhan Kamp Pengungsi Suriah di Yordania. Foto: Pengungsi Suriah di Yordania. Foto: AFP Intip Kondisi Ramadhan Kamp Pengungsi Suriah di Yordania. Foto: Pengungsi Suriah di Yordania.

REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN - Kehidupan di sebuah kamp pengungsi yang penuh sesak menjadi sedikit lebih baik bagi ibu asal Suriah, Khadija. Namun kondisi ini tak berlangsung lama, sampai keputusan penguncian akibat Covid-19 menghentikan pertemuan bersama orang terkasih di bulan Ramadhan dan membuat penduduk kamp seperti berada di tepi jurang.

Khadijah, suami, dan tiga anaknya termasuk di antara sekitar 120.000 warga Suriah yang tinggal di kamp-kamp di Yordania. Mereka melarikan diri dari perang sembilan tahun yang terjadi di tanah air mereka dan membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal.

Baca Juga

Yordania menjadi tuan rumah dengan jumlah pengungsi per-kapita tertinggi kedua setelah Lebanon. Hingga saat ini belum ada laporan mengenai kasus Covid-19 di antara para pengungsi di Yordania. Tetapi langkah-langkah penguncian nasional telah diperluas hingga kamp-kamp pengungsian, ​​di mana kondisi yang terlalu padat akan membuat wabah sulit ditahan.

Di kamp Azraq tempat Khadija tinggal di Yordania timur, penduduk hanya bisa pergi membeli barang-barang kebutuhan pokok pada waktu-waktu tertentu. Sekolah dan banyak toko kecil telah tutup. Banyak orang dengan pekerjaan memperkirakan pendapatan mereka ke depan akan berkurang.

Saat ini adalah bulan Ramadhan, bulan suci ketika umat Islam berpuasa sepanjang hari, sebelum berkumpul untuk makan setelah matahari terbenam dengan teman-teman dan keluarga. Tetapi kebijakan penguncian menjadi pukulan khusus bagi wanita berusia 29 tahun ini.

Dikutip di Syriahr, terpisah dari teman-teman dan komunitas baru, kuncian membuat ia bernostalgia tentang kondisi Ramadhan sebelum perang terjadi di Suriah. Kondisi ini juga membawa kembali kenangan isolasi yang ia rasakan lima tahun lalu selama bulan suci pertamanya di Yordania.

“Sudah lima tahun sejak saya meninggalkan rumah di kota Homs. Saya datang bersama suami dan anak-anak saya. Kami tidak tahu apa-apa atau siapa pun. Ramadhan pertama kami di kamp itu terasa asing dan sepi," ucap Khadija dikutip di Syariahr, Rabu (29/4).

Saat berada di Suriah, ia memiliki tradisi yang selalu dilakukan saat Ramadhan. Ia memiliki uang untuk membeli apa pun yang mereka butuhkan dan bisa dilakukan sesuka hati.

Ia bersama keluarga kerap menjadi tuan rumah bagi teman dan keluarga untuk makan buka puasa. Sebelum Idul Fitri, liburan di akhir Ramadhan, Khadijah akan membeli hadiah untuk anak-anak dan menyiapkan permen. Kondisi saat itu adalah hari-hari terbaik untuknya.

Selama bertahun-tahun di kamp membuat ia berusaha mencari teman. Sesama penghuni kamp akan bertemu sekedar makan atau menghabiskan waktu bersama. Waktu yang ada dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

"Lantas virus Covid-19 ini datang. Rasanya seperti Ramadhan pertama kami lagi, benar-benar asing. Dikelilingi sesama umat Muslim dan memakan roti bersama adalah jantung dari tradisi Ramadhan kami. Dan sekarang sudah tidak ada," ujar Khadija.

Saat sedang menyiapkan buka puasa di rumah, tanpa terasa ia mulai menangis karena merasakan perbedaan Ramadhan di tahun ini. Selain dikurung di kamp, ​​ia merasa lebih terisolasi dari sebelumnya.

Khadija tinggal di tempat penampungan daei baja dengan suami dan tiga anak tanpa tujuan. Anak perempuannya yang berusia 13 tahun, melakukan sekolah jarak jauh dan terus berkata merasa frustasi dengan kondisi saat ini.

Sementara itu, anaknya yang berumur lima tahun memohon untuk bisa keluar dan bermain. Namun permintaan itu tidak bisa dikabulkan. Khadija terlalu khawatir dengan keberadaan virus ini, meskipun saat ini tidak ada kasus di kamp.

Ia juga menceritakan rencananya membawa sang buah hati yang sedang tumbuh gigi ke klinik. Tetapi melihat kondisinya yang sangat ramai, membuat ia memutuskan untuk merawat sendiri dengan ramuan alami di rumah.

Pengungsi di kamp telah menerima sosialisasi langkah-langkah pencegahan Covid-19, terkasuk menjaga kebersihan dan jaga jarak sosial melalui pesan teks. Secara eksplisit mereka belum diminta untuk tidak mengunjungi teman, tetapi semua orang takut pada kesehatan anak-anak mereka.

Setiap keluarga memilih untuk melakukan isolasi mandiri guna melindungi diri mereka. Rasa takut di kamp sudah dirasakan.

"Sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan dasar kami. Biasanya pada awal Ramadhan, penduduk kamp menerima keranjang makanan dan kurma. Tetapi kami belum mendapatkan apa pun sampai saat ini," lanjut wanita berusia 29 tahun ini.

Sang suami sempat pergi di pagi hari untuk membeli beberapa bahan makanan dari supermarket, tetapi sampai jam 4 sore ia tak kunjung pulang. Sementara itu, penghuni kamp hanya diizinkan keluar selama non-jam malam, antara pukul 10 pagi dan 6 sore. Di akhir pekan, mereka dikunci sepenuhnya.

Sang suami menyebut antrian di supermarket sangat panjang. Pada akhirnya dia hanya bisa membawa pulang beberapa barang yang lantas gunakan untuk memasak hidangan buka puasa.

Khadija menyebut dalam kondisi saat ini, ia dan keluarga harus puas dengan apa pun yang mereka mampu. Satu-satunya penghasilan yang mereka miliki berasal dari bantuan tunai bulanan yang didapat dari Badan Pengungsi AS, dan bahkan bantuan itu tidak bertahan selama sebulan penuh.

"Ketika kami pertama kali datang ke sini, suami saya bisa bekerja sebagai guru di kamp selama enam bulan. Tetapi pekerjaan sulit didapat. Baik suami maupun saya tidak dapat memperoleh pekerjaan melalui skema yang diberikan oleh bantuan organisasi kepada para pengungsi, meskipun kami selalu melamar," lanjutnya.

Keberadaan Covid-19 telah menghentikan semua pekerjaan, membuatnya semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan saat ini. Tetapi setidaknya bagi mereka yang memiliki skema pekerjaan, masih menerima gaji mereka.

Ia berharap pandemi global ini segera berakhir. Meski baru beberapa hari memasuki bulan Ramadhan, ia sudah merasakan kondisi yang sangat berbeda dan terjebak di kamp tanpa interaksi manusia.

"Hari ini seperti kemarin. Kami akan berbuka puasa saat senja, berdoa, menonton TV kecil, dan menunggu sampai besok untuk mengulanginya lagi," ucap Khadija.