Selasa 28 Apr 2020 16:42 WIB

Harga Minyak Anjlok, Gelombang PHK Menjadi Ancaman

gelombang PHK akan terjadi jika perusahaan dan negara tak melakukan mitigasi.

Rep: Intan Pratiwi / Red: Agus Yulianto
Pengeboran sumur minyak bumi
Foto: Antara
Pengeboran sumur minyak bumi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Mantan Wakil ESDM era SBY, Rudi Rubiandini mengatakan, anjloknya harga minyak dan juga dampak pandemi Covid-19, memukul telak industri hulu migas. Dampaknya, gelombang PHK akan terjadi jika perusahaan dan negara tak melakukan mitigasi yang baik.

Menurutnya, dua kondisi tersebut memaksa perusahaan migas menurunkan biaya operasinya agar masih bisa selamat melewati masa-masa sulit akibat turunnya harga minyak, memprioritaskan pada kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan produksi dan memangkas biaya dan kegiatan penunjang serta pengembangan lapangan.

"Mereka akan melakukan pemangkasan. Pemangkasan ini bukan hanya merugikan pekerja langsung di kontraktor migas. Yang paling dirugikan adalah industri penunjang hulu migas, misalnya perusahaan yang biasa ngebor, perusahaan yang biasa mensuplai tenaga kerja, dan pihak ketiga lainnya," ujarnya, Senin (27/4).

Rudi menjelaskan, rata-rata biaya produksi minyak di Indonesia sebesar 19 dolar per barel. Tapi ada sumur-sumur yang biaya produksi minyaknya di atas 30 dolar per barel. Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk sementara akan menghentikan pekerjaan di sumur-sumur itu karena tidak ekonomis. Pekerja pun perlu dikurangi untuk efisiensi.

"Ada sumur-sumur yang biaya produksinya USD 30-40 per barel. Itu harus dihentikan pekerjaannya. Kalau tidak akan rugi. Beberapa sumur harus ditutup dan dikalkulasi ulang," ujarnya.

Untuk dapat bertahan di tengah krisis yang disebabkan oleh pandemi corona ini, menurut Rudi, industri hulu migas dan sektor-sektor lainnya perlu melakukan perencanaan ulang. Anggaran belanja, keuangan, kegiatan produksi harus dirombak dan disesuaikan dengan situasi tidak normal seperti sekarang.

Lakukan replanning di segala sektor bukan hanya di migas saja. Termasuk di sisi-sisi ekonomi lainnya. APBN, industri, semua harus menghitung ulang dengan kondisi yang ada. Baik itu pengusaha ritel, produsen, maupun penyedia energi harus menghitung ulang.

"Jangan sampai kebanyakan produksi atau sebaliknya kita tidak menyediakan bahan-bahan yang kita butuhkan saat ini. Di depan mata kita ada resesi," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement