Selasa 28 Apr 2020 04:42 WIB

Yasonna Tegaskan Pembebasan Napi demi Cegah Penularan Corona

Kelebihan kapasitas membuat physical distancing tidak bisa diterapkan di lapas.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly.
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menegaskan, bahwa pengeluaran narapidana (napi) dan anak melalui program asimilasi dan integrasi sebagai upaya mencegah penyebaran Covid-19. Pembebasan juga untuk mengurangi angka kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan (lapas), rumah tahanan negara (rutan), maupun lembaga pemasyarakatan khusus anak (LPKA).

Yasonna mengatakan adanya kelebihan kapasitas membuat pembatasan fisik dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19 tidak bisa berjalan. Sehingga, diperlukan langkah-langkah strategis dalam upaya membuat jarak antarnapi di dalam lapas, rutan maupun LPKA.

Baca Juga

"Pertama kali yang harus dilakukan adalah creating space pada seluruh lapas, rutan dan LPKA yang saat ini mengalami overcrowded. Maka dari itu saya menginstruksikan segera pada jajaran pemasyarakatan untuk melakukan langkah-langkah pencegahan, dari mulai penyiapan bilik sterilisasi, penghentian sementara penerimaan tahanan, subtitusi layanan kunjungan dengan layanan daring, pelaksanaan sidang online, sampai pada kebijakan program asimilasi dan integrasi melalui Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020," ujar Yasonna dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Senin (27/4).

Yasonna menyampaikan hal tersebut dalam upacara peringatan Hari Bakti Pemasyarakatan ke-56, di kantor pusat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Jakarta, Senin. Upacara tersebut juga diikuti seluruh kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM dan 680 Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan (UPT PAS) seluruh Indonesia melalui media teleconference.

Dalam upacara tersebut, Yasonna mengatakan bahwa Komisi Tinggi PBB telah memberikan pertimbangan perlindungan kepada setiap orang yang berada di tempat penahanan dengan kondisi kelebihan kapasitas dan tidak dimungkinkan adanya pembatasan fisik melalui kebijakan pembebasan sementara.

Dia menyebut beberapa negara seperti Amerika Serikat, Iran, Afghanistan, Jerman, Kanada, Australia, dan Polandia telah menindaklanjuti hal tersebut dengan mengambil kebijakan percepatan pengeluaran narapidana dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 yang lebih luas. Adapun di Indonesia, kata dia, upaya menyelamatkan narapidana dan anak dari wabah Covid-19 dilakukan melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 10 Tahun 2020.

Permenkumham tersebut mengatur mengenai syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.

"Hanya bagi mereka yang sudah memenuhi syarat diberikan pembinaan luar lembaga atau di tengah-tengah masyarakat yaitu asimilasi di rumah. Pembinaan di luar lembaga merupakan salah satu program pembinaan yang selama ini telah berjalan dengan membaurkan narapidana ke masyarakat umum. Dalam kondisi darurat ini narapidana lebih ditekankan untuk berada di rumah dan melakukan proses integrasi dengan keluarga inti," ujar dia.

Dalam kesempatan itu, Yasonna turut menyesalkan beredarnya hoaks terkait narapidana yang menjalankan asimilasi di rumah. Dalam hoaks yang beredar, disebutkan bahwa akan ada gelombang besar narapidana yang akan menebarkan teror terhadap keamanan masyarakat, usai dikeluarkan dari penjara.

"Cerita horor tentang pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana seolah-olah ingin menyudutkan kebijakan yang humanis ini. Memang terdapat 21 laporan terkait pelanggaran kembali, namun ini sangat kecil jumlahnya jika dibanding dengan 38 ribu orang yang dikeluarkan, tidak signifikan," kata Yasonna.

Yasonna juga menegaskan bahwa kebijakan pengeluaran narapidana dan anak melalui Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, baik yang berada di atasnya maupun yang sederajat. Dia mengatakan, para narapidana tersebut bukan serta merta dibebaskan, melainkan tetap menjalani pembimbingan dan pengawasan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan bersinergi dengan kepolisian.

"Kembali kepada cita-cita para founding fathers kita bahwa tembok hanyalah sebuah alat, bukan tujuan pemasyarakatan. Usaha pemasyarakatan tidak hanya bergantung pada kokohnya tembok atau kuatnya jeruji. Pemasyarakatan adalah segala bentuk usaha untuk mengembalikan para pelanggar hukum ke tengah-tengah masyarakat, maka dari itu kedudukannya bukanlah terpisah dari masyarakat itu sendiri," ujar Yasonna.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement