Senin 27 Apr 2020 13:21 WIB

Covid-19: Indonesia vs AS, Mudik vs Pulang Kampung

Pulang kampung dan mudik hakikatnya adalah pemisahan antara pengungsi dan pemudik.

Petugas kepolisian mengarahkan kendaraan umum ke pintu keluar Tol Bitung, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (24/4/2020). Penyekatan itu dilakukan menyusul adanya larangan mudik bagi seluruh kalangan yang sudah ditetapkan mulai hari ini guna mencegah penyebaran COVID-19
Foto:

Mudik vs Pulang Kampung

Beberapa hari terakhir ini, publik Indonesia sibuk berdebat soal perbedaan antara mudik dan pulang kampung. Perdebatan ini dipicu wawancara Najwa Shihab dengan Presiden Jokowi dimana Jokowi menekankan bahwa “pulang kampung” adalah pergerakan orang dari kota ke desa atas dorongan survival/kelangsungan hidup, sedangkan mudik bersifat rekreasional dan tradisi.

Hal ini yang membuat pemerintah membiarkan arus warga pulang kampung dari Jabodetabek yang telah berlangsung sejak beberapa minggu yang lalu, namun memutuskan melarang arus mudik keluar maupun masuk Jabodetabek mulai 24 April 2020.  Banyak pihak mencibir pernyataan Jokowi tersebut. Mereka berargumen, virus Covid-19 tidak bisa membedakan mereka yang mudik dan pulang kampung, sehingga diasumsikan efeknya terhadap penyebaran virus dari Jabodetabek ke seluruh Indonesia, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur, akan sama saja.

Asumsi ini belum tentu benar. Pertama, semenjak merebaknya pandemi Covid-19, negara-negara di seluruh dunia membatasi pergerakan manusia dengan cara pemisahan pergerakan menjadi 2 kategori, yaitu pergerakan esensial dan pergerakan non-esensial.

Di Negara demokrasi mana pun di masa wabah Covid-19, Pemerintah tidak boleh melarang orang melakukan pergerakan esensial karena ini menyangkut survival/kelangsungan hidup manusia. Pergerakan orang mencari makan dan bekerja tergolong dalam pergerakan esensial.

Konteks pergerakan esensial versus non-esensial inilah yang menyebabkan pemerintah Indonesia membedakan antara “pulang kampung” dan “mudik”, dua hal yang sebelum pandemi Covid-19 tidak pernah dibedakan. Artinya, langkah Pemerintah Pusat sudah tepat karena sudah sesuai dengan standar internasional menghadapi wabah Covid-19.

Kedua, perbedaan timing dan strata sosial. Tahun 2019 lalu, arus mudik dan arus balik Lebaran melibatkan pergerakan hampir 15 juta manusia. Dapat dibayangkan jika Pemerintah tidak mencegah arus mudik ini, mimpi buruk Amerika Serikat bisa jadi kenyataan mengerikan yang menimpa negara kita.

Lalu bagaimana dengan mereka yang sudah “curi start” pulang kampung berpekan-pekan lalu, yang menurut Kementerian Perhubungan jumlahnya sudah mencapai sejuta orang? Jangan lupa bahwa mereka bukan pemudik, lebih tepatnya mereka adalah pengungsi. Mereka mengungsi karena kehilangan pekerjaan dan kontrakan tempat tinggal di kota.

Di kampung, mereka masih punya safety net: menumpang di rumah orang tua dan makan seadanya hasil sawah/kebun/pekarangan. Siapa mereka? Tentu saja, kelompok masyarakat kelas menengah bawah alias berpenghasilan rendah.

Sementara itu, dalam kelompok masyarakat yang manakah virus Covid-19 lebih dahulu berjangkit? Fakta-fakta anekdotal mengindikasikan kelompok masyarakat kelas menengah ataslah yang lebih dulu terjangkit virus Covid-19. Bukankah dimana pun di seluruh dunia, kelompok ini yang paling dulu bersinggungan dengan kasus impor Covid-19?

Di Indonesia, kasus 01 dan 02 terjangkit dari turis Jepang, mereka berasal dari kelompok menengah ke atas. Di Arab Saudi lebih ekstrim lagi, 150 orang Pangeran keluarga kerajaan terjangkit Covid-19 hingga Raja Salman dan putra mahkota Muhammad bin Salman terpaksa diungsikan ke pulau.

Sebaliknya, di India, di hari-hari awal lockdown terjadi berbagai kekacauan yang menciptakan kerumunan-kerumunan ribuan orang miskin di seluruh pelosok. Namun hal ini tidak menyebabkan terjadinya lonjakan kasus infeksi Covid 19 maupun kematian akibat Covid-19.

Maka, keputusan Pemerintah Pusat membiarkan arus “pulang kampung” sejak berpekan-pekan lalu bisa jadi adalah sebuah keputusan yang cerdik sekaligus melindungi kelompok miskin dari transmisi virus Covid-19 dari kelompok menengah atas. Manfaat selanjutnya adalah, arus curi start “pulang kampung” ini secara signifikan dapat mengurangi kepadatan kawasan-kawasan kumuh di Jabodetabek, tempat di mana para buruh migran biasa tinggal. Mengurangi kepadatan kawasan kumuh berarti mengurangi kerapatan rantai penularan virus.

Maka jelaslah pembedaan antara “pulang kampung” dan “mudik” pada hakikatnya adalah pemisahan antara pengungsi dan pemudik. Pengungsi yaitu kelompok miskin, sedangkan pemudik adalah kelompok menengah atas yang lebih berpeluang menyebarkan virus Covid-19 ke luar Jabodetabek.

Pemudik adalah mereka yang bergerak dari Jabodetabek ke pelosok Indonesia dengan mobil pribadi dan pesawat. Pergerakan pemudiklah yang ditahan pemerintah dengan cara pencegahan mobil pribadi dan pesawat keluar masuk daerah Jabodetabek dan daerah PSBB per 24 April 2020.

Bukan dengan cara menanyai niat orang satu-persatu: Anda mau “pulang kampung” atau “mudik”? Jadi, apakah kita akan bernasib seperti rakyat Donald Trump, keputusan ada di tangan Anda: mau mudik atau #dirumahsaja?

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement