Senin 27 Apr 2020 13:18 WIB

Anggota Komisi Hukum DPR Dukung LSM Gugat Yasonna

Gugatan itu terkait kebijakan Yasonna membebaskan narapidana pada masa pandemi.

Rep: Arif Satrio Nugroho, Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III (Hukum) DPR RI dari Fraksi PAN Sarifuddin Sudding mendukung langkah sejumlah pihak yang menggugat Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Gugatan itu terkait kebijakan Yasonna membebaskan narapidana pada masa pandemi.

"Saya menghargai langkah hukum yg dilakukan beberapa LSM mangajukan gugatan atas kebijakan asimilasi kepada para narapidana yang menimbulkan keresahan dan melakukan tindak pidana di tengah masyarakat," kata Sudding melalui pesan singkat, Senin (27/4).

Baca Juga

Sudding menilai, sejak awal kebijakan ini tidak didasarkan pada seleksi ketat terhadap narapidana yang akan dibebaskan. Ia menyebut pembebasan narapidana ini cenderung transaksional dan hanya mempertimbangkan rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

"Tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang akan ditimbulkan disaat situasi ekonomi dan lapangan pekerjaan yang sangat sulit seperti saat ini," ujar Sudding.

Karenanya, kata Sudding, gugatan tersebut patut dihargai dan dihotmati sebagai  hak warga mesyarakat. Gugatan tersebut dinilai Sudding muncul manakala masyarakat merasa dirugikan oleh kebijakan tersebut.

Yasonna Laoly digugat ke pengadilan karena mengeluarkan kebijakan Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 tentang Asimilasi bagi 37 ribu narapidana (napi) se-Indonesia. Penggugat menilai kebijakan Menkumham itu memunculkan keresahan masyarakat.

"Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yakni Yayasan Mega Bintang, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum (LP3H) yang melakukan upaya hukum menuntut agar kebijakan Kemenham itu dicabut," kata Sekretaris Yayasan Mega Bintang, Arief Sahudi, di Solo , Kamis (23/4).

Menurut Arief, yang melatari Yayasan Mega Bintang dalam upaya hukum dengan gugatan kepada Menkumham tersebut, karena dianggap kebijakan tentang asimilasi napi itu sudah meresahkan masyarakat.

"Banyak masyarakat yang komplain kepada Mega Bintang bahwa desa yang sebelumnya aman kini tidak aman lagi. Masyarakat sekarang harus menjaga kampungnya untuk beronda. Hal ini, dampak kebijakan program asimilasi itu," katanya pula.

Pihaknya berharap dengan gugatan tersebut dapat didengar oleh Menkumham dan segera mencabut kebijakan asimilasi itu. Menurut dia, banyak mantan napi yang bebas sejak 1 April 2020 telah melakukan tindak kejahatan di tengah program asimilasi yang dijalaninya. Mantan napi tersebut ada yang mencuri, kejahatan narkoba dan mabuk-mabukan, di tengah pandemi Covid-19.

Sebelumnya, Yasonna Laoly mengungkapkan alasannya membebaskan narapidana dan anak lewat program asimilasi dan integrasi di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Alasan utamanya yakni karena faktor kemanusiaan.

"Ini karena kemanusiaan. Tidak ada yang bisa menjamin Covid-19 tidak masuk ke dalam lapas atau rutan, karena ada petugas yang punya aktivitas di luar dan kita tidak pernah tahu jika dia membawa virus itu ke dalam lapas," kata Yasonna melalui keterangan resminya, Kamis (16/4).

Yasonna kembali menegaskan, kebijakan memberikan asimilasi dan integrasi pada warga binaan di lapas serta rutan over kapasitas juga dilakukan atas rekomendasi PBB untuk seluruh dunia. Selain Indonesia, negara-negara lain juga membebaskan napi untuk mencegah penyebaran Covid-19 di dalam lapas.

photo
Data Napi Dibebaskan Akibat Pandemi Corona - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement