Ahad 26 Apr 2020 12:26 WIB

Kualitas Sholat Sahabat

Setiap kata dan kalimat yang dibaca membuat mereka tenggelam dalam kebenaran.

Jamaaah Masjid Al Furqan salat sunat usai pelaksanaaan shalat Jumat di Kompleks Jaka Purwa, Kecamatan  Bandung Kidul, Bandung, Jumat (20/3). Mengantisipasi penyeberan virus SARS Cov-2 penyebab COVID19 masjid ini menerapkan kaidah penjarakkan sosial (Social Distancing) pada pengaturan shafnya.
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Jamaaah Masjid Al Furqan salat sunat usai pelaksanaaan shalat Jumat di Kompleks Jaka Purwa, Kecamatan Bandung Kidul, Bandung, Jumat (20/3). Mengantisipasi penyeberan virus SARS Cov-2 penyebab COVID19 masjid ini menerapkan kaidah penjarakkan sosial (Social Distancing) pada pengaturan shafnya.

REPUBLIKA.CO.ID, Sepotong malam di bulan Rajab. Rasulullah SAW bangun tengah malam untuk memeriksa masjid. Rasulullah hendak melihat adakah orang yang bangun pada malam itu.

Begitu dekat masjid, beliau mendengar suara Sayidina Abu Bakar as-Shiddiq sedang menangis dalam shalatnya. Abu Bakar hendak mengkhatamkan Alquran dalam dua rakaat shalatnya. Namun, ketika sampai pada ayat, "Allah telah membeli para mukminin, harta mereka dan jiwa mereka, bahwa bagi mereka adalah surga," (QS at-Taubah: 111), ia menangis keras. Air matanya menitik ke sajadah, sedangkan Nabi SAW berhenti di pintu masjid.

Di sudut lainnya, Nabi SAW juga mendengar Ali sedang menangis di dalam shalatnya. Ali pun berniat mengkhatamkan alquran dalam shalat dua rakaat. Ia sampai di ayat, "Samakah mereka yang tahu dan yang tidak tahu? Yang dapat menerima pelajaran hanyalah mereka yang berakal." (QS az-Zumar:9).

Di dua sisi lainnya, Nabi SAW mendengar kerasnya tangisan Muadz bin Jabal yang juga hendak mengkhatamkan Alquran. Dia selalu gagal karena selalu terhenti pada pertengahan surah yang dibaca atau ayat lainnya. Namun, bacaannya kembali terhenti karena air matanya selalu berlinang.

Demikian dengan Bilal bin Rabbah, seorang sahabat mulia yang memiliki keistimewaan sebagai muazin Rasulullah SAW. Bilal juga tersedu di tengah khusyuknya menjalankan shalat malam. Melihat para sahabatnya begitu khusyuk menjalankan shalat, Rasulullah juga menangis. Beliau pun pulang kembali ke rumahnya.

Ketika Subuh tiba, mereka shalat di belakang Nabi. Dia pun menghadap ke arah para sahabat dan bertanya. "Apa yang membuatmu menangis, Abu Bakar, ketika sampai pada bacaan 'innallahasytara' (Allah telah mem beli)?"

"Bagaimana tidak? Allah telah membeli jiwa para hamba- Nya. Tentunya jika ternyata hamba itu cacat? Tidak akan jadi dibeli. Juga setelah dibeli tapi terlihat cacatnya. Atau, cacat saya diketahui kemudian dikembalikan. Bukankah saya menjadi penghuni neraka? Karena itu saya menangis."

Kemudian, datang Jibril dan berkata kepada Nabi. "Katakan, wahai Muhammad, kepada Abu Bakar. Jika pembeli tahu cacat si hamba dan membelinya dengan cacatnya itu, ia tidak bisa mengembalikannya. Dengan cacat hamba-Nya—sebelum dicipta kan—dengan cacat itu pula Dia mem belinya. Tidak ada yang dikembalikan. Demikian dengan cacat setelah dibeli."

Nabi bergembira mendengarnya, juga para sahabat. Pertanyaan selanjutnya kemudian disampaikan kepada Ali. "Apa yang membuatmu menangis ketika membaca ayat 'qul hal yastawi'?" Ali menjawab, "Bagaimana tidak? Allah berfirman, samakah orang yang tahu dan tidak tahu? Bapak kita Adam adalah orang yang paling tahu. Seperti yang disampaikan Allah dalam firman- Nya: Allah mengajarkan Adam nama-nama keseluruhannya. Sedang kami tidak sama dengan beliau. Bagaimana bisa sama?"

Jibril pun datang memberi petunjuk untuk meluruskan anggapan Ali. Yang benar, tidak akan sama kelak pada hari kiamat antara orang kafir dengan orang beriman. Orang kafir hanya menyembah berhala, tidak beriman kepada Allah dan hari kiamat. Orang beriman menyembah Allah dan menyebut "Lalilahaillallahu Muhammadarrasulullah".

Orang mukmin akan berbuat baik saat bergembira. Jika berbuat buruk, dia beristighfar. Jika bepergian, meng-qasar shalatnya dan berbuka puasa. Itu tidak berdosa. Tempat tinggal di kampung akhirat juga menjadi pembeda bagi orang mukmin dan kafir. Orang beriman akan menikmati surga, sementara orang kafir neraka.

Begitulah gambaran kualitas keimanan sahabat generasi perta ma. Mereka membaca Alquran dengan ilmu dan iman kepada Allah. Setiap kata dan kalimat yang dibaca membuat mereka tenggelam dalam kebenaran.

Mereka mengukur realitas lahir batin dengan pernyataan kebenaran dalam Alquran. Pikiran terguncang, sedangkan hati bergetar bila sampai pada ayat-ayat yang mengoreksi kondisi mereka atau ayat-ayat yang mengabar kan masa depan umat manusia yang mencekam (Wa'id). (Dikutip dari Syekh Muhammad Ibn Abu Bakar dalam Ushufuriyah untuk Zaman Kita). 

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement