Senin 27 Apr 2020 02:29 WIB

Jalan Kita dan Corona Masih Panjang

Corona masih panjang, kita harus waspada dan membantu yang membutuhkan.

Reiny Dwinanda
Foto: republika
Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*)

Sudah berapa lama #dirumahsaja, kawan? Saya sudah berhenti menghitung hari, sejujurnya.

Meski waktu terasa berjalan begitu lambat, ternyata saya seperti tak punya cukup waktu untuk menuntaskan ini dan itu di rumah. Pandemi Covid-19 ini benar-benar menguras energi dan pikiran. Bukan saja sebagai wartawan desk Kesehatan, tetapi juga sebagai makhluk sosial.

Diskusi tentang virus corona tipe baru bisa berlangsung sepanjang hari dengan berbagai kelompok kawan dengan beragam latar keilmuan di grup Whatsapp maupun percakapan pribadi. Isinya bikin mumet di satu waktu, mencerahlan di waktu lainnya, dan kadang melahirkan ide-ide untuk kemanusiaan.

Awal-awal, percakapan berfokus pada kegemasan terhadap respons pemerintah pusat semasa wabah mulai menyeruak. Kok denial, kok nggak antisipasi, kok malah becanda, kok mengentengkan penyakitnya, kok nggak ilmiah pernyataannya, kok...kok... Ah, banyak sekali ketidakpantasan yang bikin geregetan.

Sejalan waktu, benturan mulai terjadi di grup Whatsapp keluarga. Hoaks benar-benar punya daya untuk merusak pemahaman masyarakat akan bahaya virus corona.

Itu tak bisa dibiarkan. Biasanya, saya meluangkan waktu untuk meladeni. Darimana saya tahu apa yang mesti disangkal? Baca, banyak baca sumber yang kredibel tentunya. Banyak bertanya juga pada ahlinya agar tak keliru menarik kesimpulan.

Saya tak bisa diam karena sayang dengan keluarga. Tentunya, adab harus diutamakan dalam mendebat. Kita sudah cukup merana dengan corona, jangan sampai rusak pula hubungan keluarga karenanya.

Ketika ada yang memprotes larangan sholat berjamaah di masjid, contohnya, saya harus bantu orang yang posting untuk bisa melihat masalahnya dari perspektif yang berbeda.

Masjid memang rumah Allah Swt, berwudhu memang membersihkan tubuh, dan kita harus berhusnuzon bahwa Allah Swt akan melindungi tamu-Nya. Tapi, kita juga perlu sadar, Allah SWT mewajibkan kita menjaga diri dari segala marabahaya.

Virus corona ini menyerang saluran pernapasan. Ia menyebar lewat percikan liur penderita saat batuk dan bersin yang kemudian terhirup orang lain. Virus tersebar, melayang sesaat di udara lalu kemudian jatuh dan menempel di permukaan sajadah, pegangan pintu, atau gagang keran.

Virus corona bisa masuk ke dalam tubuh ketika tangan kotor kita menyentuh hidung, mulut, dan mata. Menurut juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto, 70 persen individu yang positif Covid-19 tidak merasakan gejala gangguan kesehatan. Itu artinya, kita yang merasa sehat bisa saja punya kemampuan untuk membuat orang lain jatuh sakit.

Kita tak bisa terlalu pede sekarang karena tanpa uji swab selaput lendir tenggorokan, tak ada yang tahu apakah kita sepenuhnya terbebas dari infeksi virus corona. Tes ini belum massal dilakukan di Indonesia.

Jadi, lebih baik bersikap waspada dengan beribadah di rumah. Seperti kata dokter spesialis paru RSUP Persahabatan, Jakarta, Andika Chandra Putra, seluruh masyarakat Indonesia kini tergolong orang dalam pemantauan (ODP) Covid-19.

Lagi pula, tiga tempat suci umat Islam telah memberi contoh terbaik ibadah di masa pandemi. Masjid Al Aqsha, Masjid Nabawi, dan Masjidil Haram menutup pintu dari jamaah. Saat ini, mengejar pahala berlipat ganda dengan sholat lima waktu dan tarawih di masjid bukanlah prioritas. Kita sedang ada misi besar, perang melawan musuh yang ukurannya tak terlihat oleh mata.

Misi besar kita: selamat dari serangan musuh dan tidak membuat orang lain sakit serta memastikan mereka yang terdampak secara ekonomi bisa tetap bertahan.

Ladang amal

Lewat perenungan panjang, saya melihat pandemi ini sebagai ladang amal yang sangat luas dan terbuka lebar untuk digarap oleh kita semuw, dengan cara apapun yang kita bisa. Kejar pahala dari situ, yuk! Sekarang kan bulan Ramadhan, tiap kebaikan berlipat ganda pahalanya. Jadi, jangan terlalu sedih tak bisa ramai-ramai ke masjid ya...

Sambil terus mengenali musuh, banyak orang saya lihat telah bergerak. Mata saya basah melihat aneka prakarsa yang mereka kerjakan untuk melindungi sesama, membantu sesama.

Waktu itu, pembatasan sosial berskala besar belum diterapkan. Kala itu, seruan mengenakan masker kain belum lagi jadi pilihan pemerintah, tetapi mereka sudah satu-dua langkah di depan pemerintah.

Berbekal literatur sains, mereka bergerak mengajarkan cara membuat masker dengan bahan-bahan yang mudah didapat atau malah sudah ada di rumah. Mereka juga menggalang donasi untuk menyediakan masker untuk mereka yang tak mungkin #diamdirumah.

Seorang sahabat yang tinggal di Bandung, Jawa Barat sempat ngeri melihat banyak  orang masih tumpah ruah di jalan. Bersama komunitasnya, ia lantas membagikan selebaran edukasi seputar corona seraya membagikan masker dan juga sembako.

Dia sempat berkecil hati melihat warga yang menjadi target penerima tak membaca leaflet-nya atau tak memakai masker pemberiannya.  Tapi saya yakin, tak ada yang sia-sia. Pasti ada yang merasakan manfaat dari kebaikan yang ditebarnya. Kita cuma bisa berusaha.

Saya katakan, itu pentingnya sebanyak mungkin orang yang memang bisa tinggal di rumah untuk tetap di rumah. Dengan begitu, saudara kita yang harus keluar mencari nafkah risikonya terpapar corona jadi lebih rendah.

Ekonomi

Pandemi corona ini bukan semata krisis kesehatan. Ia menghantam ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Ini panggilan jihad untuk kemanusiaan.

Kita sudah melihat data yang disajikan dari pemerintah mengenai jumlah orang yang positif terinfeksi corona, yang meninggal, yang sembuh, yang dalam pemantauan, dan yang dalam pengawasan. Kita juga sudah mendengar banyak ilmuwan yang menyebut angkanya jauh lebih besar dari yang diumumkan pemerintah.

Terlepas dari itu, yang jelas setiap nyawa berharga. Yang terpenting, cukupkah respons kita terhadap wabah ini?

Urusan perut sesama harus menjadi perhatian bagi semua orang di tengah upaya mengendalikan penyebaran virus corona. Ini dua hal yang tak terpisahkan dalam penanganan wabah Covid-19.

Meski tak keluar rumah, kita harus tetap buka mata, buka telinga. Kita harus memastikan tak ada warga yang tak punya bahan makanan, gelap rumahnya karena tak sanggup beli token listrik, atau tak punya tempat tinggal karena tidak lagi punya uang untuk membayar kontrakan.

Jumlah tetangga yang mendadak tak berpenghasilan akan terus bertambah.  Sementara itu, orang yang gajinya yang tak lagi utuh, tunjangan hari raya entah cair atau tidak, dan bonus telah melayang juga tak kalah banyak. Entah berapa lama kekuatan mereka untuk ikut mengulurkan tangan.

Gerakan masyarakat ini harus harmoni, butuh pemerintah untuk memimpinnya. Jika tidak, lama-lama kita bisa burnout.

Padahal, jalan kita masih panjang dalam menanggulangi dampak pandemi ini. Seram membayangkan apa yang terjadi ketika banyak orang merasa gagal dan lesu  dalam menghadapi tuntutan di lapangan.

Pemerintah punya pekerjaan rumah yang tak kalah banyak dari anak-anak kita yang sekarang harus melakukan pembelajaran jarak jauh.

Pemerintah harus cepat belajar dari cara Korea Selatan, Qatar, Norwegia dan Selandia Baru menghentikan penyebaran virus dengan gangguan ekonomi sangat kecil. Bukan dari Amerika Serikat, Inggris, Italia, Prancis, dan Spanyol yang masih kewalahan.

* penulis adalah wartawan republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement