Sabtu 25 Apr 2020 14:55 WIB

OKI Desak Gencatan Senjata Permanen di Afghanistan

OKI serukan seluruh pihak di Afghanistan bekerja sama untuk terciptanya perdamaian.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Reiny Dwinanda
 Warga Afghanistan menunggu gandum gratis jelang Ramadhan yang berlangsung selama massa karantina Covid-19, di Kabul, Afghanistan, Selasa (21/4/2020).
Foto: AP/Rahmat Gul
Warga Afghanistan menunggu gandum gratis jelang Ramadhan yang berlangsung selama massa karantina Covid-19, di Kabul, Afghanistan, Selasa (21/4/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mendesak semua pihak yang terlibat dalam konflik di Afghanistan mendeklarasikan gencatan senjata permanen. Ia mendesak diakhirinya kekerasan selama Ramadhan.

Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Jumat (24/4), seperti dikutip laman Anadolu Agency, OKI mengimbau semua pemimpin dan pihak di Afghanistan bekerja sama untuk memastikan terciptanya perdamaian dan stabilitas melalui dialog, terlebih saat ini pandemi Covid-19 sedang berlangsung.

Baca Juga

Taliban telah menolak seruan Pemerintah Afghanistan untuk menerapkan gencatan senjata selama Ramadhan. Ia menyebut hal itu hanya dapat dilakukan jika proses perdamaian dilaksanakan sepenuhnya.

“Meminta gencatan senjata tidak rasional dan meyakinkan,” kata juru bicara Taliban Suhail Shaheen melalui akun Twitter pribadinya pada Jumat.

Pada saat bersamaan, aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara pimpinan Amerika Serikat (AS) menyerukan Taliban mengurangi tingkat kekerasan dan bergabung dalam pembicaraan damai. "Tingkat kekerasan saat ini yang disebabkan oleh Taliban tidak dapat diterima," ujar duta besar aliansi di Dewan Atlantik Utara NATO dalam sebuah pernyataan.

Pada Kamis (23/4) lalu Presiden Afghanistan menyerukan gencatan senjata selama Ramadhan. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan agar Afghanistan dapat fokus menangani wabah Covid-19.

Afghanistan telah mencatat lebih dari 1.300 kasus Covid-19. Namun, para ahli kesehatan berpendapat jumlahnya dapat meningkat tajam karena tes yang terbatas dan sistem kesehatan yang lemah.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement