Awal Disyariatkannya Puasa

Rep: Ali Yusuf/ Red: Ani Nursalikah

Sabtu 25 Apr 2020 07:59 WIB

Awal Disyariatkannya Puasa Foto: Pixabay Awal Disyariatkannya Puasa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat di Madinah pada awal-awal hijrah, Rasulullah SAW selalu melakukan puasa Muharram dan ayyamul bidh. Namun ibadah puasa ini menjadi cemoohan kalangan Yahudi Madinah di mana mereka telah lebih dahulu melakukan puasa serupa. Firman Arifandi dalam bukunya Tanya-Tanya Seputar Ramadhan mengatakan, karena ejekan itulah kemudian turun perintah untuk puasa Ramadhan yang spesial menjadi puasanya umat Nabi Muhammad SAW.

Perimtah ini sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 183 yang artinya, "Wahai orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelummu agar kamu bertaqwa.” Dan dilanjutkan ayat yang artinya, "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin."

Baca Juga

Berangkat dari ayat ini, awalnya umat Islam yang ingin puasa boleh lanjut puasa, sementara yang enggan berpuasa biasanya hanya akan bayar fidyah saja. Namun kemudian, Allah menekankan puasa ini wajib dikerjakan siapa pun yang sehat

dan mampu berpuasa. Umat yang lemah dan tua renta diberi keringanan berupa fidyah.

Hal ini diperkuat dengan turunnya Al-Baqarah ayat 185 yang artinya, "Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu."

Firman mengatakan, pada awal-awal disyariatkan puasa ini ada indikasi setelah habis durasi puasa menjelang maghrib, maka sahabat boleh makan minum dan melakukan hubungan suami istri dengan syarat belum tidur. Jika telah tidur maka setelah terbangun mereka sudah mulai puasa lagi, seperti halnya kebiasaan puasa umat terdahulu.

Sebagaimana diceritakan dalam tafsir Ayatul Ahkam, bahwa Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa di mana siang harinya beliau habiskan untuk bekerja mengurus pohon kurma. Ketika waktu berbuka sudah hampir tiba, ia datang kepada istrinya seraya menanyakan apakah ada makanan.

Lalu istrinya menjawab tidak ada, kemudian istrinya keluar rumah untuk

mencarikannya. Karena kelelehan dari bekerja siang hari tadi, Qais pun tertidur selama menunggu istrinya.

Mengetahui suaminya tertidur, maka istrinya berkata: “Celakalah engkau!” Esok harinya Qais tetap berpuasa walau tanpa berbuka dan sahur di malam harinya, karena sepanjang pemahaman mereka selama ini, tidak boleh makan ketika bangun dari tidur, sebagaimana kebiasaan puasa orang-orang terdahulu sebelum Islam.

Tapi di pertengahan hari berikutnya Qais justru pingsan. Lalu cerita ini sampai kepada Nabi, maka turunlah ayat. "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu."

photo
Dasar hukum puasa Ramadhan - (Pusat Data Republika)

Usai turunnya ayat ini mereka semua bergembira, lalu turun pelengkap ayatnya di Al-Baqarah ayat 187 yang artinya, "Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”

"Itulah jenjang pensyariatan puasa Ramadhan bagi umat Islam yang ternyata sekali pun diwajibkan tetap tidak menjadi beban dan kesulitan bagi kita dalam melaksanakannya bahkan tidak seribet umah terdahulu," katanya.

Buktinya, awal puasa itu adalah dimulai dari masuknya waktu subuh, bukan saat terbangun dari tidur. Bahkan masih ada jeda untuk mengganjal perut sebelum subuh yang dihukumi sunnah, yakni makan sahur. Untuk itu, kata Firman, kita mesti bersyukur menjadi umatnya Nabi Muhammad dengan segala kemudahan dan fleksibilitas dalam ibadah ini.