Sabtu 25 Apr 2020 05:45 WIB

Ravio Patra Bebas, Aktivis Lain Alami Percobaan Peretasan

YLBHI menilai ada pelanggaran selama proses penangkapan dan pemeriksaan Ravio

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Ravio Patra Bebas, Aktivis Lain Alami Percobaan Peretasan
Ravio Patra Bebas, Aktivis Lain Alami Percobaan Peretasan

Setelah lebih dari 30 jam ditangkap dan diperiksa Polda Metro Jaya, aktivis Ravio Patra akhirnya dibebaskan pada Jumat (24/04) pagi dengan berstatus sebagai saksi. Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Advokasi YLBHI Era Purnama Sari yang mendampingi Ravio selama proses pemeriksaan.

“Ravio sudah keluar tadi pukul 08.30 status saksi setelah lebih dari 30 jam sejak penangkapan,“ terang Era saat diwawancarai DW Indonesia, Jumat (24/04).

Era mengatakan peretasan dan penangkapan Ravio diduga berkaitan dengan kritik-kritik yang kerap dilontarkan ravio kepada pemerintah antara lain soal kritikannya terhadap staf khusus presiden dan penanganan COVID-19 di Indonesia.

“Yang jelas ada fakta bahwa dia termasuk yang kritis terhadap penanganan COVID-19 juga soal stafsus. Stafsus proyek-projyek stafsus yang konflik kepentingan dan tanpa mekanisme tender. Apakah ada hubungan atau tidaknya inilah yg kita desak polisi untuk membongkarnya,“ jelasnya.

Era menyampaikan saat ini Ravio dalam kondisi kelelahan karena lamanya proses pemeriksaan. “Sejauh ini baik hanya kelelahan butuh istirahat dulu karena 30 jam lebih di Polda,“ ungkap Era.

Pelanggaran proses hukum

Selama proses hukum Ravio berlangsung, Era mencatat ada beberapa pelanggaran yang terjadi. Ia mengaku bahwasannya tim penasihat hukum Ravio awalnya sulit mendapatkan informasi keberadaan ravio. “Kita baru bisa mengakses Ravio kemarin pukul 15, sejak pagi kawan-kawan tim penasihat hukum sudah di Polda tapi semua subdit mengatakan nama Ravio tidak ada register,“ terangnya.

Proses penangkapan dan penggeledahan terhadap Ravio juga dinilai tidak sesuai prosedur. Polisi tidak mampu memberikan dan menunjukkan surat penangkapan dan pengeledahan.

Berdasarkan keterangan yang Era berikan kepada DW Indonesia, status hukum Ravio juga berubah-ubah. Ravio sudah menjalani pemeriksaan pada tanggal 23 April dari pukul 03.00 WIB hingga pukul 06.00 WIB dengan status tersangka, namun pada pukul 10.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB ia kembali diperiksa sebaga saksi.

Selain itu pasal yang dituduhkan juga berubah-ubah dan tidak relevan dengan pemeriksaan. Ravio awalnya dikenakan Pasal 28 ayat 1 UU ITE tentang "berita bohong yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik" menjadi Pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang "ujaran kebencian atau permusuhan individu dan kelompok masyarakat berdasarkan SARA." Hal ini diketahui ketika Ravio menantandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Berita penangkapan Ravio ini sontak menjadi viral di media sosial dan dikecam oleh sesama rekan aktivis, salah satunya aktivis perempuan Tunggal Pawestri yang mempertanyakan prosedur penangkapan dan dasar tuduhan yang dialamatkan kepada Ravio.

Sementara itu, anggota tim advokasi Amnesty International Indonesia, Aldo Kaligis, menilai kasus penangkapan aktivis Ravio Patra menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia. Ia menuturkan polisi harusnya lebih jeli dalam membedakan mana korban dan mana pelaku, tidak serta merta begitu saja melakukan penangkapan.

“Jadi seharusnya polisi membongkar pelaku peretasan tersebut, bukan justru menangkap Ravio. Polisi harus terlebih dahulu menyelidiki perkara sebenarnya,” terang Aldo dikutip dari Kompas.com, Kamis (23/04).

Aktivis lain diretas?

Tak hanya Ravio, DW Indonesia juga mendapati informasi akun WhatsApp aktivis HAM Evan Putro juga mengalami hal serupa. Kepada DW Indonesia, Evan mengaku mengalami percobaan peretasan saat WhatsApp Ravio diretas, WhatsApp milik dirinya sempat coba diretas oknum tak bertanggung jawab.

“Tiba-tiba aku dapat SMS dari WhatsApp isinya OTP (One-Time Password) sampai dua kali,” ungkap Evan saat diwawancarai DW Indonesia, Jumat (24/04).

Namun Evan mengatakan ia berhasil mencegah WhatasApp-nya diretas. “Tahu aku dapat OTP itu, aku langsung tanya beberapa teman yang kerja di LSM HAM, dan dia saranin untuk pakai verifikasi dua langkah dan keluar dari WA di laptop,” papar Evan yang aktif di komunitas 100% Manusia.

Evan mengaku terkejut dengan kejadian ini apalagi bersamaan dengan ramainya pemberitaan kasus peretasan WhatsApp Ravio, padahal dirinya mengaku tengah “rehat sejenak dari pergerakan” dalam beberapa waktu terakhir.

Selain Evan, Ketua BEM Universitas Indonesia, Fajar Adi Nugroho, juga mengalami hal serupa. Dalam kicauan di akun Twitter-nya, tampak Fajar membagikan unggahan layar ponselnya ketika WhatsApp-nya diretas pada Kamis (23/04) pagi.

Sebelumnya, peneliti kebijakan publik sekaligus pegiat advokasi legislasi, Ravio Patra, ditangkap polisi pada Rabu (23/04) malam karena diduga menyebarkan informasi provokatif ajakan penjarahan pada 30 April mendatang. Namun, Ravio mengklaim bahwa WhatsApp atas namanya yang digunakan untuk menyebarkan ajakan tersebut diretas oknum tidak bertanggungjawab. Pihak Ravio pun meminta kepolisian bersikap profesional dan menghentikan kasus atau tuduhan terhadap Ravio dan meminta kepolisian untuk menangkap pelaku peretasan WhatsApp tersebut.

(rap,ap/berbagai sumber)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement