Jumat 24 Apr 2020 03:28 WIB

Cerita Guru Honorer Mengajar Kala Pandemi Covid-19

Guru honerer malah merasa bekerja nonstop pada masa pandemi Covid-19.

Ilustrasi guru honorer
Ilustrasi guru honorer

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratikah

Berbagai keterbatasan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Salah satu yang paling terpengaruh wabah ini adalah aktivitas belajar mengajar di sekolah.

Baca Juga

Baik siswa dan guru kedua pihak terdampak cukup besar dengan adanya Covid-19 ini. Berbagai kebijakan diambil pemerintah mulai dari belajar dari rumah hingga menghapus Ujian Nasional (UN).

Penghapusan UN diapresiasi banyak pihak dan pada tahun ini siswa SMK menjadi yang terakhir merasakan UN. Namun, yang masih memiliki banyak kendala adalah kebijakan belajar dari rumah.

Salah satu guru honorer SMP Diponegoro Yogyakarta, Nadia mengatakan, kendala yang cukup mengganggu berkaitan dengan ketersediaan kuota internet. Kendala ini tidak hanya dialami guru namun juga siswa.

Nadia menjelaskan, masalah kuota internet cukup mengganggu kegiatan belajar mengajar. Tidak jarang siswa terlambat mengirimkan tugas karena kehabisan kuota. Hal ini pun harus dimakluminya sebagai guru.

"Mereka WA saya lalu mengumpulkan tugasnya, walaupun terlambat karena ya gitu, terkendala kuota. Kadang juga ada anak yang enggak megang handphone dan pakai punya orang tuanya. Nah, itu juga jadi kendala," kata Nadia.

Sebagai wali kelas, ia juga memiliki tugas yang cukup berat yakni mendorong murid-muridnya untuk mengirim tugas. Terkadang ia juga menjadi perantara kepada guru lainnya dan menerima tugas murid-muridnya melalui aplikasi Whatsapp.

Hal lain yang menjadi pengalaman baru baginya selama pandemi Covid-19 ini adalah harus siap sedia hingga malam hari. Sebab, tidak sedikit muridnya yang masih mengontaknya pada malam hari karena masih tidak paham dengan tugas-tugas tertentu.

"Gurunya nonstop malah. Karena dari pagi sampai malam harus on terus. Plus, belum lagi jawabin pertanyaan anak-anak yang belum paham sama tugasnya," kata Nadia menjelaskan.

Namun, di satu sisi ia terus berpikir untuk tidak memberi tugas yang terlalu berat. Ia mengatakan, guru-guru di sekolahnya bertujuan untuk memudahkan siswa dan orang tua siswa. Sebab, sekolah memahami tidak semua siswa dan walinya adalah orang yang mampu.

"Jadi ya kita buat tugas yang tidak memberatkan siswa dan wali," kata dia lagi. 

Kendala terkait kuota juga dialami guru honorer K2 di DKI Jakarta, Nurbaiti. Sebagai tim lobi pusat sekaligus koordinator wilayah DKI Jakarta Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I). Ia mengisahkan selama ini rekan-rekan sesama guru honorer terus bekerja di tengah pandemi.

Baginya, tanggung jawab sebagai guru tidak kalah penting dibandingkan statusnya yang tidak kunjung jelas. "Kita memberikan pelajaran tetap sesuai dengan RPP kita, keseharian kita. Itu kita masih memberikan pembelajaran kepada siswa menyapa melalui grup WA kelas, maupun kita video call kepada anak-anak," kata Nurbaiti.

Nurbaiti menjelaskan, hingga saat ini dirinya masih menggunakan dana pribadi untuk membeli kuota untuk mengajar jarak jauh. Hal itu harus dia lakukan agar proses belajar mengajar tetap bisa berjalan dengan lancar dan muridnya mendapatkan tetap mendapatkan pendidikan di tengah wabah Covid-19.

Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah merevisi aturan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Di dalam revisi yang baru, dijelaskan secara eksplisit bahwa dana tersebut boleh digunakan untuk membeli kebutuhan kuota internet bagi murid dan guru selama masa pandemi Covid-19.

Di dalam revisi kebijakan dana BOS juga dihilangkan syarat penerima dana BOS harus honorer yang memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Terkait hal ini, Nurbaiti mengapresiasi pemerintah yang merevisi aturan tersebut.

Nurbaiti juga mengapresiasi peraturan baru yang menyatakan dana BOS boleh digunakan untuk membeli kuota siswa dan guru untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ). Namun, ia khawatir ke depannya serapan dana BOS tidak seperti yang ia harapkan.

Pasalnya, pada aturan dana BOS sebelumnya, serapannya masih belum berjalan dengan baik. Di dalam peraturan sebelumnya, dana BOS diperboleh kan untuk guru honorer maksimal 50 persen, namun saat ini aturan tersebut dihilangkan dan penggunaan dana BOS sepenuhnya menjadi tanggung jawab kepala sekolah.

"Ini jadi bumerang, kecemburuan sosial sendiri. Kita tidak menutup mata pimpinan kan enggak semuanya suka dengan honorer. Mudah-mudahan anggaran itu benar-benar terserap ke depannya," kata dia lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement