Jumat 24 Apr 2020 05:51 WIB

Ragam Pendapat Niat Puasa, Cukup Sekali atau Berulang-ulang?

Ulama dari Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali sepakat puasa tak sah tanpa niat.

Niat puasa apakah harus diucapkan setiap hari, atau cukup sekali untuk satu bulan. Foto: Abdul Muiz Ali, Pengurus Lembaga Dakwah PBNU
Foto: Dokumentasi pribadi
Niat puasa apakah harus diucapkan setiap hari, atau cukup sekali untuk satu bulan. Foto: Abdul Muiz Ali, Pengurus Lembaga Dakwah PBNU

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Abdul Muiz Ali, Pengurus Lembaga Dakwah PBNU

Niat dalam ibadah bagian dari sesuatu yang terus melekat sekaligus menjadi barometer keluhuran dan kualitas ibadah itu sendiri. Keabsahan dan atau kadar kualitas ibadah tertentu tergantung hanya sejauh mana seorang dapat menempatkan niatnya. Niat adalah start sekaligus finish dari kualitas ibadah seseorang. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus..”

(QS. Al Bayyinah: 5).

Ulama menyebutnya, niat bisa menjadi sesuatu yang sakral karena ia merupakan separuh dari Islam dan sepertiga dari ilmu. Hampir dari semua perintah dalam ajaran Islam; shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah lainnya tidak lepas dari niat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

“Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung (hanya) pada niatnya dan sesungguhnya seseorang (hanya) akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan yang diniatkannya". (HR. Bukhori dan Muslim).

Dalam hadis ini kata a'mal dan kalimat li kulli imri'in ma nawa sama-sama diawali dengan adat hasyr berupa Innama; yaitu amil yang berfungsi untuk membatasi yang biasa diartikan "hanya". Artinya, dalam hadis di atas memberikan pengertian kepada kita, bahwa diterimanya amal perbuatan ibadah hanya tergantung pada niatnya dan seorang itu akan mendapat kualitas perbuatan ibadahnya hanya tergantung pula pada niatnya.

Karena pentingnya niat, Imam Bukhari dan Imam An-Nawawi menempatkan bab niat pada pembahasan pertama dalam kitab hadisnya yang diawali dengan hadis riwayat Bukhari dan Muslim: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallama bersabda:

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya segala amal perbuatan hanya bergantung pada niatnya. Setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”(HR. Bukhari dan Muslim).

Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin, Jalaluddin al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi'i al-Asy'ari, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam as-Suyuthi, ketika memulai penulisan kitab kaidah fikih, al-Asybah wa al-Nazha’ir, ia memulainya dengan kaidah fikih:

الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

Semua perkara tergantung pada tujuannya. Kaidah ini mengadopsi dari pesan hadis di atas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement