Kamis 23 Apr 2020 16:59 WIB

'Pemerintah tak Diuntungkan dengan Manipulasi Data Covid-19'

Yurianto menilai manipulasi data justru dan mengacaukan kerja keras selama ini.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Ratna Puspita
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menegaskan tidak menutupi atau memanipulasi data dan informasi mengenai infeksi virus corona di Indonesia. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, menyebutkan data mengenai penanganan Covid-19 justru sangat penting untuk dasar kebijakan pemerintah. 

Data ini pun dihimpun secara berjenjang, dari level desa, rumah sakit, dinas kesehatan daerah, sampai ke pusat. Ia mengatakan pemahaman ini perlu dipahami agar transparansi data bisa terwujud. 

Baca Juga

"Pemerintah tidak berkepentingan dan tidak mendapat keuntungan apapun dengan memanipulasi data. Justru sebaliknya, akan merugikan dan mengacaukan kerja keras yang selama ini kita bangun bersama," jelas Yurianto, Kamis (24/4). 

Pernyataan Yurianto ini menanggapi keraguan masyarakat terkait jumlah sebenarnya pasien Covid-19 yang meninggal dunia. Fakta di lapangan, jumlah pemakaman yang dilakukan dengan prosedur Covid-19 jauh lebih banyak ketimbang angka kematian yang dirilis pemerintah. 

Menanggapi hal ini, Yurianto menjelaskan, seluruh data pasien positif Covid-19 didasarkan pada hasil pemeriksaan antigen dengan metode real time PCR (Polymerase Chain Reaction). Metode ini berbeda dengan pemeriksaan cepat atau rapid test yang mengecek antibodi seseorang. Hasil pemeriksaan cepat pun tidak seakurat metode PCR.  

"Basis data yang sudah dikonformasi melalui pemeriksaan antigen real time PCR ini digunakan untuk menyusun dan melaporkan data kasus sembuh dan kasus meninggal," jelas Yurianto. 

Seluruh hasil pemeriksaan PCR ini, ujar Yurianto, dikumpulkan dan diumumkan setiap hari bila ada penambahan kasus positif, pasien sembuh, atau pasien positif Covid-19 yang meninggal dunia. Terkait dengan pemakaman dengan prosedur Covid-19 yang melampaui angka kematian versi pemerintah, Yurianto punya penjelasannya. 

Ia menyampaikan, seluruh kasus kematian pasien dalam pengawasan (PDP), baik yang sudah diambil sampelnya untuk diperiksa atau sedang menunggu hasil tes, dimakamkan dengan tata laksana Covid-19. Pemakaman PDP dengan prosedur Covid-19, ujar Yurianto, dilakukan untuk melindungi petugas pemakaman dan keluarga pasien. 

Selanjutnya, Yurianto melanjutkan, apabila hasil pemeriksaan atas spesimen yang sempat diambil sebelum pasien meninggal dunia menunjukkan hasil positif Covid-19, maka kematian si pasien dimasukkan dalam daftar pasien positif Covid-19 yang meninggal dunia. "Namun bila tidak terkonfirmasi positif atau negatif, atau tidak sempat diambil spesimen sebelum meninggal maka kita tak pernah mencatat ini sebagai kasus meninggal Covid-19," jelas Yurianto. 

Pemerintah, ujar Yurianto, menggunakan data sebaran orang dalam pemantauan (ODP) dan PDP di berbagai daerah untuk menentukan kebijakan penanganan Covid-19. Misalnya, sebagai dasar dalam menentukan distribusi alat pelindung diri (APD) ke daerah. 

Daerah dengan perkembangan kasus infeksi virus corona yang pesat, tentu akan mendapat prioritas. "Juga sebagai acuan data dalam distribusi reagen, dalam menentukan jumlah kebutuhan relawan, namun bukan bagian dari pelaporan ke WHO," ujar Yurianto. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement