Kamis 23 Apr 2020 05:57 WIB

Covid-19 di ASEAN, Xenofobia dan Islamofobia Jadi Temuan

Ada seragan terhadap orang China dan Muslim yang ikut tabligh akbar di Malaysia.

[Ilustrasi] Tentara dengan memakai masker wajah dan senapan mesin berjaga di sebuah gedung yang ditutup di Kuala Lumpur, Malaysia, Rabu (15/4). Pemerintah Malaysia mengeluarkan perintah pembatasan kegiatan kepada publik hingga 28 April, untuk membantu mengekang penyebaran Covid-19.
Foto: AP/Vincent Thian
[Ilustrasi] Tentara dengan memakai masker wajah dan senapan mesin berjaga di sebuah gedung yang ditutup di Kuala Lumpur, Malaysia, Rabu (15/4). Pemerintah Malaysia mengeluarkan perintah pembatasan kegiatan kepada publik hingga 28 April, untuk membantu mengekang penyebaran Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Xenofobia dan islamofobia adalah dua di antara sejumlah temuan Komisi Antarpemerintah ASEAN urusan HAM (AICHR) terkait masa pandemi Covid-19 di negara-negara kawasan Asia Tenggara.

Perwakilan Indonesia untuk AICHR Yuyun Wahyuningrum menyampaikan hasil kajian lembaganya selama Februari hingga April dalam webinar Talking ASEAN yang disiarkan langsung di kanal Youtube The Habibie Center, Rabu (22/4).

Baca Juga

"Kami mencatat sejumlah kasus xenofobia (ketakutan akan orang asing) terhadap orang-orang China, seperti turis, tamu, pengunjung, pelajar, imigran," kata Yuyun.

"Stigma, ujaran kebencian dan rasis terhadap masyarakat Tionghoa yang dianggap sebagai pembawa dan sumber virus, juga terhadap mereka yang mirip dengan Tionghoa terjadi pada Februari," kata dia menambahkan.

Pada Maret, xenofobia terhadap orang China, masyarakat Tionghoa, atau mereka yang secara fisik mirip dengan orang China masih berlanjut dengan bentuk semacam gangguan. "Kami juga menemukan kasus penyerangan islamofobia terhadap orang-orang yang ikut serta dalam kegiatan tabligh akbar di Kuala Lumpur, Malaysia, dan komentar di media sosial bahwa masyarakat Muslim harus dipenjara karena mereka membawa virus," ucap Yuyun.

Aksi persekusi juga terjadi pada mereka yang melanggar imbauan tinggal di dalam rumah dan orang yang mengkritik kebijakan pemerintah terkait penanganan pandemi Covid-19 di media sosial.

Di Filipina saja, tercatat sebanyak 17.039 orang ditahan karena tidak mematuhi aturan jam malam atau pelanggaran lainnya yang berhubungan dengan karantina mandiri di masyarakat.

Persekusi serupa berlanjut hingga bulan April. Kala itu, Malaysia menahan lebih dari 4.000 orang karena melanggar perintah karantina wilayah sementara seorang laki-laki berusia 63 tahun ditembak mati di Filipina hanya karena tidak mengenakan masker.

"Pada Maret, kami belum menerima laporan tentang apa yang dilakukan pemerintah terhadap mereka yang menyebarkan berita bohong atau hoaks, namun pada April, kami mengumpulkan informasi bahwa pemerintah menangkap orang-orang yang membagikan informasi keliru," kata Yuyun.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement