Rabu 22 Apr 2020 14:40 WIB

Membentuk Pemimpin Berkarakter

Merangkul milenial bertalenta menjadi solusi menemukan pemimpin bangsa di masa depan.

Chiefy Adi Kusmargono, Pemerhati bidang Pendidikan, SDM & Budaya Perusahaan
Foto: Republika/Prayogi
Chiefy Adi Kusmargono, Pemerhati bidang Pendidikan, SDM & Budaya Perusahaan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Chiefy Adi Kusmargono, Pemerhati bidang Pendidikan, SDM & Budaya Perusahaan

Sekilas selebaran dengan warna kecoklatan mirip naskah tempo dulu sangat menarik untuk disimak. Terlebih isinya seperti sebuah sayembara atau pengumuman di era kejayaan Kerajaan Majapahit. Semua mata tertuju pada sebuah naskah tersebut yang ternyata adalah undangan debat terbuka dari talenta muda Bhima Yudhistira A dengan profesi pengamat ekonomi yang tergabung dalam Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang ditujukan kepada Adamas Belva Syah Devara CEO Ruang Guru sekaligus Staf Khusus Milenial Presiden RI.

Gaungnya sampai menggema tidak hanya di saentero negeri tapi juga sampai ke negeri seberang ibarat pertandingan tinju antara Muhammad Ali vs Joe Frazier di tahun 70-an. Hampir sebagian besar menunggu debat terbuka tersebut, dan tak sabar apakah Belva menerima tantangan tersebut? Dibumbui dengan sindiran dan cemoohan dari yang terhalus sampai terkasar dengan berbagai judgement yang sebenarnya tidak pantas untuk kita lakukan sebagai bangsa yang beradab.

Berbagai profesi menantikannya, dari mulai politisi, praktisi maupun akademisi. Seolah tak sadar, bukan tidak mungkin suatu saat dampaknya ada sebuah tempelan ajakan debat terbuka di dinding kampus dari seorang mahasiswa yang ditujukan pada dosennya. Bisa saja ini akan terjadi.

Keduanya adalah talenta muda modal bangsa ini. Bhima Yudhistira A berusia 30 tahun jebolan UGM dan Universitas Bradford Inggris dengan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang aktif dalam kegiatan riset ekonomi dan keuangan di INDEF. Sedangkan Adamas Belva Syah Devara berusia 29 tahun merupakan CEO Ruang Guru sekaligus Staf Khusus Milenial Presiden RI jebolan NTU Singapura, Harvard University Amerika dan Stanford University Inggris dengan beasiswa LPDP juga.

Sayangnya debat terbuka tersebut hampir dipastikan tidak akan terealisir. Faktor penyebabnya adalah undangan tersebut, apabila dilihat dalam perspektif psikologi walaupun niat dan tujuannya baik. Namun tidak bisa dipungkiri terdapat unsur yang mengandung “agresivitas” dan “dominasi” di dalamnya baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Hal ini tercermin pada:

1. Tema ditentukan oleh Yudhistira.

2. Media ditentukan oleh Yudhistira.

3. Belva pihak yang diundang diminta menghubungi Yudhistira tanpa dikasih nomor telepon, alamat email atau alamat surat.

4. Terkesan ingin menunjukkan seolah-olah bahwa Yudhistira yang tahu caranya berkontribusi secara nyata terkait dengan ekonomi.

5. Memperkenalkan diri sebagai pengamat ekonomi. (Yang sebenarnya kurang relevan kalau berdiskusi dengan praktisi. Pengamat sebaiknya diskusi dengan pengamat bukan pemain atau praktisi. Ibaratnya Rayana Jakasurya pengamat Sepak Bola Liga Italia bisa adu debat dengan pengamat Sepak Bola Rico Ceper. Dua duanya belum pernah jadi pemain tapi jago sebagai pengamat).

6. Tema diskusi masih ambigu, apakah Belva adalah decision maker program pra kerja atau bukan (Perpres 36/2020, mengatur salah satunya PMO (project management officer) yang semuanya dibentuk oleh Menko Perekonomian. Menko Perekonomian juga membentuk Komite Cipta Kerja, yang dibantu oleh Tim Pelaksana dan Manajemen Pelaksana). Bisa jadi diskusinya salah alamat.

Ini masalah cara saja, tujuannya satu tetapi sebenarnya ada banyak cara yang bisa ditempuh. Seharusnya forumnya lebih pada mempersatukan mereka daripada seolah-olah berhadap-hadapan.

Yudhistira baik dengan keahlian ekonominya bisa memberikan sumbangsih lewat pribadi atau INDEF sebagai masukan ke pemerintah. Demikian pula Belva sudah menciptakan lapangan kerja 4.500 orang dengan startup yang terjangkau, bahkan sudah mengembangkan di Vietnam “Kien Guru” bisa memiliki masukan tersendiri.

Dengan mempertimbangkan manfaat dan mudhoratnya, maka kita semua punya tanggung jawab moral untuk mematangkan SDM muda modal bangsa ini. Terlepas menariknya debat terbuka tersebut, apakah goalnya akan tercapai atau tidak?

Namun harus dilihat kepentingan yang lebih besar daripada itu, dua orang itu adalah kader muda terbaik di bidangnya masing-masing (bukan di semua bidang), maka lebih baik dipersatukan dengan cara yang baik. Itu tugas kita semua, bukan untuk dipanas-panasi.

Masalah diskusi tidak harus mengundang debat terbuka, misalnya mengadakan forum terbuka dengan tidak hanya mengundang 2 orang tersebut, namun juga nara sumber milenial-milenial muda lainnya  yang dipandu oleh seorang moderator untuk membahas “Solusi Efektif Pengalokasian Dana  akibat dampak Covid-19 di Indonesia“. Sudah dipastikan hasilnya akan lebih baik dan manfaat.

Tetapi apabila tetap dipaksakan menggunakan cara berupa publikasi undangan debat terbuka yang mengandung unsur agresivitas dan dominasi seperti yang dilakukan Yudhistira, apakah tujuan jangka pendeknya, yaitu terealisasinya debat tersebut akan tercapai?

Kalau debat tersebut tidak terjadi apakah tujuan jangka menengahnya akan tercapai, yaitu menghasilkan rekomendasi yang ditujukan pada decision maker. Dan yang terakhir, apakah tujuan jangka panjangnya akan tercapai? yaitu: rekomendasi tersebut jadi dasar pertimbangan pengambilan keputusan. Sedangkan debatnya tidak terealisir.

Kalau ingin tujuan tercapai harus “muter sedikit” tidaklah jadi masalah, misalnya minta tolong senior di INDEF untuk mempertemukan dalam sebuah forum terbuka seperti penjelasan di atas, maka sudah dipastikan hasilnya akan lebih baik dan manfaat serta tujuannya akan tercapai. Dibandingkan dengan cara mempublikasi undangan debat terbuka yang malah tujuannya tidak akan tercapai. Pepatah Jawa mengatakan, “Ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake”

Nah kita sebagai “orang tua” sebaiknya mengarahkan pada sikap, perilaku dan karakter yang positif baik pada Yudhistira maupun Belva, yaitu humble, low profile, wise and never be hero. Sebagian karakter ini pun yang akan dibentuk dari seorang Yudhistira dalam sebuah wawancara, yaitu be humble and be wise. Karakter tersebut adalah karakter seorang leader dengan top leadership level.

So, ayuk kolaborasikan para talenta milenial nasional untuk menjadi solusi Bangsa Indonesia dengan karakter kepemimpinan: humble, wise, low profile and never be hero. Merekalah kelak yang akan memimpin negeri ini cepat atau lambat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement