Selasa 21 Apr 2020 19:31 WIB

Pemerintah Koalisi Israel Tetap Jadi Ancaman Perdamaian

Sekjen Organisasi Pembebasan Palestina soroti pemerintahan koalisi Israel

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Sekjen Organisasi Pembebasan Palestina soroti pemerintahan koalisi Israel. Ilustrasi.
Foto: AP Photo/Oded Balilty
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Sekjen Organisasi Pembebasan Palestina soroti pemerintahan koalisi Israel. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH — Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat menyoroti terbentuknya pemerintahan bersatu Israel. Pemerintahan itu terdiri atas pemimpin Likud Party Benjamin Netanyahu dan Blue and White Party Benny Gantz.

Menurut Erekat, pemerintahan koalisi tersebut akan tetap menjadi ancaman bagi stabilitas dan perdamaian di Timur Tengah. “Setiap koalisi Israel yang dibangun di atas aneksasi tanah Palestina yang diduduki tidak hanya merupakan ancaman bagi tatanan internasional berdasarkan hukum internasional. Akan tetapi juga ancaman bagi perdamaian, keamanan, dan stabilitas di seluruh Timur Tengah,“ katanya, dikutip laman Anadolu Agency, Selasa (21/4).

Baca Juga

Menurut dia Pemerintah Israel yang baru memiliki dua opsi. Pertama membuka pintu bagi proses perdamaian yang bermakna atau sebaliknya yakni membahayakan harapan untuk perdamaian.

“Israel harus mengejar jalur kerja sama, menghormati kewajibannya di bawah hukum internasional, atau melanjutkan perluasan lebih lanjut dari permukiman kolonial ilegal, aneksasi, dan pelanggaran kewajiban Israel lainnya,” ucapnya.

Erekat mendesak agar masyarakat internasional tetap meminta pertanggungjawaban Pemerintah Israel dan mendesaknya mematuhi komitmen serta perjanjian internasionalnya. Netanyahu dan Gantz telah sepakat untuk membentuk pemerintahan nasional secara bergilir.

Di bawah pengaturan itu, Netanyahu akan terus menjabat sebagai perdana menteri selama 18 bulan ke depan. Kemudian sisa masa jabatan akan diteruskan oleh Gantz. Israel telah menghadapi krisis politik sejak April 2019 yakni ketika pemilu gagal menghasilkan koalisi untuk memerintah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement